Selasa, 21 November 2017

Penjaminan Pelayanan Kesehatan Darurat Medis di Faskes yang Tidak Bekerjasama Dengan BPJS Kesehatan

Penjaminan Pelayanan Kesehatan Darurat Medis di Faskes yang Tidak Bekerjasama Dengan BPJS Kesehatan

Kata Pengantar
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditetapkan bahwa
operasional BPJS Kesehatan dimulai sejak tanggal 1
Januari 2014.
BPJS Kesehatan sebagai Badan Pelaksana merupakan
badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan diberlakukannya program Jaminan Kesehatan
Nasional ini adalah untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya
dibayar oleh Pemerintah.
Masyarakat sebagai peserta Jaminan Kesehatan
Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan
stakeholder terkait tentu perlu mengetahui prosedur
dan kebijakan pelayanan dalam memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan haknya. Untuk itu diperlukan

Buku Panduan Praktis yang diharapkan dapat membantu
pemahaman tentang hak dan kewajiban stakeholder
terkait baik Dokter/Dokter Gigi yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan, Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan, Peserta BPJS Kesehatan maupun
pihak-pihak yang memerlukan informasi tentang program
Jaminan Kesehatan Nasional.
Dengan terbitnya buku ini diharapkan masyarakat
akan mengetahui dan memahami tentang Jaminan
Kesehatan Nasional, sehingga pada saat pelaksanaannya
masyarakat dapat memahami hak dan kewajibannya
serta memanfaatkan jaminan kesehatan dengan baik
dan benar. Tentu saja, pada waktunya buku panduan
praktis ini dapat saja direvisi dan diterapkan berdasarkan
dinamika pelayanan yang dapat berkembang menurut
situasi dan kondisi di lapangan serta perubahan regulasi
terbaru.

I Definisi Dan Landasan Hukum
II Cakupan Pelayanan
III Prosedur Pelayanan Kesehatan
IV Hal Yang Perlu Diperhatikan
V Lampiran



I Definisi Dan Landasan Hukum
A. Definisi
Pelayanan Kesehatan Darurat Medis adalah pelayanan kesehatan yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan, dan/atau kecacatan sesuai dengan kemampuan Fasilitas kesehatan.
Penjaminan pelayanan di Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di Fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan dilakukan hanya untuk pasien yang dalam keadaan gawat darurat.

B. Landasan Hukum
1. Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013 Pasal
25 poin b, pasal 33, dan pasal 40
2. Permenkes Nomor 71 tahun 2013 pasal 29
3. Surat Edaran Nomor HK/MENKES/31/I/2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

II Cakupan Pelayanan
1. Pelayanan gawat darurat yang dapat dijamin
adalah sesuai dengan kriteria gawat darurat yang
berlaku.
2. Cakupan pelayanan gawat darurat diberikan sesuai dengan kewenangan dan kompetensi Faskes sesuai tingkatannya, yaitu:
a. administrasi pelayanan;
b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
c. tindakan medis baik non operatif maupun operatif;
d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
e. pelayanan alat kesehatan;
f. pelayanan penunjang diagnostik sesuai dengan indikasi medis;
g. pelayanan darah;
h. akomodasi sesuai indikasi medis jika diperlukan;
dan
i. pelayanan ambulan antar Faskes untuk rujukan pasien dengan kondisi yang telah teratasi kegawatdauratannya dan dapat dipindahkan ke Faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

III Prosedur Pelayanan Kesehatan
1. Dalam keadaan gawat darurat, maka:
a. Peserta dapat dilayani di Faskes tingkat pertama maupun Faskes tingkat lanjutan yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
b. Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan
c. Peserta yang mendapat pelayanan di Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan
d. Pengecekan validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam kriteria gawat darurat dilakukan oleh Fasilitas kesehatan 
e. Fasilitas kesehatan tidak diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta


2. Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Faskes yang Bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
a. Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh Fasilitas kesehatan baik yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan dengan BPJS Kesehatan, wajib memberikan pelayanan kegawatdaruratan sesuai indikasi medis
b. Pelayanan kegawatdaruratan di Faskes tingkat pertama dapat diberikan pada Faskes tempat peserta terdaftar maupun bukan tempat peserta terdaftar

c. Pelayanan kegawatdaruratan di Faskes tingkat
pertama maupun lanjutan mengikuti prosedur
pelayanan yang berlaku

3. Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Faskes
Tingkat pertama dan Faskes Rujukan yang tidak
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
a. Pada kasus gawat darurat peserta BPJS dapat
langsung mendapatkan pelayanan di Faskes
terdekat meskipun Faskes tersebut tidak
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
b. Pelayanan gawat darurat di Faskes rujukan
dapat langsung diberikan tanpa surat rujukan
dari Faskes tingkat pertama.

c. Peserta melaporkan status kepesertaan BPJS
Kesehatan-nya kepada Fasilitas kesehatan
dalam jangka waktu:
1) Pelayanan rawat jalan: pada saat diberikan
pelayan gawat darurat
2) Pelayanan rawat inap: pada saat diberikan
pelayan gawat darurat atau sebelum pasien
dirujuk ke Faskes yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan
d. Faskes memastikan status kepesertaan BPJS
Kesehatan dengan cara:
1) Faskes mengakses master file kepesertaan
melalui:
(a) website BPJS Kesehatan yaitu
www.bpjs-kesehatan.go.id;
(b) sms gateway; dan
(c) media elektronik lainnya.
2) Apabila poin (1) tidak dapat dilakukan
maka Faskes menghubungi petugas BPJS
Kesehatan melalui telepon atau mendatangi
kantor BPJS Kesehatan

e. Jika kondisi kegawatdaruratan peserta telah
teratasi dan dapat dipindahkan, maka harus
segera dirujuk ke Fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
f. Apabila kondisi kegawatdaruratan pasien
sudah teratasi dan pasien dalam kondisi dapat
dipindahkan, tetapi pasien tidak bersedia untuk
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan, maka biaya pelayanan
selanjutnya tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Faskes harus menjelaskan hal ini kepada
peserta dan peserta harus menandatangani
surat pernyataan bersedia menanggung biaya
pelayanan selanjutnya
g. Penanganan kondisi kegawatdaruratan di
Faskes yang tidak bekerjasama ditanggung
sebagai pelayanan rawat jalan kecuali kondisi
tertentu yang mengharuskan pasien dirawat
inap.
h. Kondisi tertentu yang dimaksud diatas adalah
sebagai berikut:
1) Tidak ada sarana transportasi untuk
evakuasi pasien.
2) Sarana transportasi yang tersedia tidak
memenuhi syarat medis untuk evakuasi
3) Kondisi pasien yang tidak memungkinkan
secara medis untuk dievakuasi, yang
dibuktikan dengan surat keterangan medis
dari dokter yang merawat.
4. Bagi pasien dengan kondisi kegawatdaruratan
sudah teratasi serta dapat dipindahkan akan tetapi
masih memerlukan perawatan lanjutan, maka
pasien dapat dirujuk ke Faskes yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan menggunakan ambulan
yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

IV Hal Yang Perlu Diperhatikan
1. Bagaimana jika kondisi pasien tidak termasuk
dalam kriteria gawat darurat sesuai ketentuan
BPJS Kesehatan?
Sesuai dengan Perpres Nomor 12 tahun 2013 pasal
25 huruf b, bahwa pelayanan yang tidak dijamin
adalah pelayanan yang dilakukan di fasilitas
kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan, kecuali dalam kondisi gawat darurat.
Oleh karena itu jika pasien tidak dalam kondisi
gawat darurat, maka biaya pelayanan pasien tidak
dapat dijamin oleh BPJS Kesehatan.
2. Apakah diperbolehkan klaim perorangan
untuk pelayanan gawat darurat di Faskes
yang tidak bekerjasama?
Sesuai dengan Perpres Nomor 12 tahun 2013
pasal 40, bahwa untuk pelayanan gawat darurat
di Faskes yang tidak kerjasama, biaya pelayanan
ditagihkan langsung oleh fasilitas kesehatan ke
BPJS Kesehatan dan tidak diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta,
sehingga tidak ada klaim perorangan dari peserta
ke BPJS Kesehatan.



V Lampiran
KRITERIA GAWAT DARURAT
NO. BAGIAN DIAGNOSA
I ANAK 1 Anemia sedang / berat
2 Apnea / gasping
3 Bayi ikterus, anak ikterus
4 Bayi kecil/ premature
5 Cardiac arrest / payah jantung
6 Cyanotic Spell (penyakit jantung)
7 Diare profis (> 10/hari) disertai
dehidrasi ataupun tidak
8 Difteri
9 Ditemukan bising jantung, aritmia
10 Edema / bengkak seluruh badan
11 Epitaksis, tanda pendarahan lain
disertai febris
12 Gagal ginjal akut
13 Gangguan kesadaran, fungsi vital
masih baik
14 Hematuri
15 Hipertensi Berat
16 Hipotensi / syok ringan s/d sedang
17 Intoksikasi (minyak tanah, baygon)
keadaan umum masih baik
18 Intoksikasi disertai gangguan
fungsi vital (minyak tanah, baygon)
19 Kejang disertai penurunan
kesadaran
20 Muntah profis (> 6 hari) disertai
dehidrasi atau tidak
21 Panas tinggi >400 C
22 Sangat sesak, gelisah, kesadaran
menurun, sianosis ada retraksi
hebat (penggunaan otot pernafasan
sekunder)
23 Sesak tapi kesadaran dan keadaan
umum masih baik
24 Shock berat (profound) : nadi
tidak teraba tekanan darah terukur
termasuk DSS.
25 Tetanus
26 Tidak kencing > 8 jam
27 Tifus abdominalis dengan komplikasi


II BEDAH 
1 Abses cerebri
2 Abses sub mandibula
3 Amputasi penis
4 Anuria
5 Apendicitis acute
6 Atresia ani (tidak bisa BAB sama
sekali)
7 BPH dengan retensio urin
8 Cedera kepala berat
9 Cedera kepala sedang
10 Cedera tulang belakang (vertebral)
11 Cedera wajah dengan gangguan
jalan nafas
12 Cedera wajah tanpa gangguan jalan
nafas, antara lain :
a. Patah tulang hidung/nasal
terbuka dan tertutup
b. Patah tulang pipi (zygoma)
terbuka dan tertutup
c. Patah tulang rahang (maxilla dan
mandibula) terbuka dan tertutup
d. Luka terbuka daerah wajah
13 Cellulitis
14 Cholesistitis akut
15 Corpus alienum pada :
a. Intra cranial 
b. Leher
b. Thorax
c. Abdomen
d. Anggota gerak
e. Genetalia


16 CVA bleeding
17 Dislokasi persendian
18 Drowning
19 Flail chest
20 Fraktur tulang kepala
21 Gastrokikis
22 Gigitan binatang / manusia
23 Hanging
24 Hematothorax dan pneumothorax
25 Hematuria
26 Hemoroid grade IV (dengan tanda strangulasi)
27 Hernia incarcerate
28 Hidrochepalus dengan TIK meningkat
29 Hirschprung disease
30 Ileus Obstruksi
31 Internal Bleeding
32 Luka Bakar
33 Luka terbuka daerah abdomen
34 Luka terbuka daerah kepala
35 Luka terbuka daerah thorax
36 Meningokel / myelokel pecah
37 Multiple trauma
38 Omfalokel pecah
39 Pankreatitis akut
40 Patah tulang dengan dugaan cedera pembuluh darah
41 Patah tulang iga multiple
42 Patah tulang leher
43 Patah tulang terbuka
44 Patah tulang tertutup
45 Periappendicullata infiltrate
46 Peritonitis generalisata
47 Phlegmon dasar mulut
48 Priapismus
49 Prolaps rekti
50 Rectal bleeding
51 Ruptur otot dan tendon
52 Strangulasi penis
53 Tension pneumothoraks
54 Tetanus generalisata
55 Torsio testis
56 Tracheo esophagus fistel
57 Trauma tajam dan tumpul daerah leher
58 Trauma tumpul abdomen
59 Traumatik amputasi
60 Tumor otak dengan penurunan kesadaran
61 Unstable pelvis
62 Urosepsi


III Kardiovaskular
1 Aritmia
2 Aritmia dan shock
3 Cor Pulmonale decompensata yang akut
4 Edema paru akut
5 Henti jantung
6 Hipertensi berat dengan komplikasi (hipertensi enchephalopati, CVA)
7 Infark Miokard dengan komplikasi (shock)
8 Kelainan jantung bawaan dengan gangguan ABC (Airway Breathing Circulation)
9 Kelainan katup jantung dengan gangguan ABC (airway Breathing Circulation)
10 Krisis hipertensi
11 Miokarditis dengan shock
12 Nyeri dada
13 Sesak nafas karena payah jantung
14 Syncope karena penyakit jantung

IV Kebidanan 
1 Abortus
2 Distosia
3 Eklampsia
4 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
5 Perdarahan Antepartum
6 Perdarahan Postpartum
7 Inversio Uteri
8 Febris Puerperalis
9 Hyperemesis gravidarum dengan
dehidrasi
10 Persalinan kehamilan risiko tinggi
dan atau persalinan dengan penyulit


V Mata 
1 Benda asing di kornea mata /
kelopak mata
2 Blenorrhoe/ Gonoblenorrhoe
3 Dakriosistisis akut
4 Endoftalmitis/panoftalmitis
5 Glaukoma :
a. Akut
b. Sekunder
6 Penurunan tajam penglihatan
mendadak :
a. Ablasio retina
b. CRAO
c. Vitreous bleeding
7 Selulitis Orbita
8 Semua kelainan kornea mata :
a. Erosi
b. Ulkus / abses
c. Descematolis
9 Semua trauma mata :
a. Trauma tumpul
b. Trauma fotoelektrik/ radiasi
c. Trauma tajam/tajam tembus
10 Trombosis sinus kavernosis
11 Tumororbita dengan perdarahan
12 Uveitis/ skleritis/iritasi


VI Paruparu
1 Asma bronchitis moderate severe
2 Aspirasi pneumonia
3 Emboli paru
4 Gagal nafas
5 Injury paru
6 Massive hemoptisis
7 Massive pleural effusion
8 Oedema paru non cardiogenic
9 Open/closed pneumathorax
10 P.P.O.M Exacerbasi akut
11 Pneumonia sepsis
12 Pneumathorax ventil
13 Reccurent Haemoptoe
14 Status Asmaticus
15 Tenggelam

VII Penyakit Dalam
1 Demam berdarah dengue (DBD)
2 Demam tifoid
3 Difteri
4 Disequilebrium pasca HD
5 Gagal ginjal akut
6 GEA dan dehidrasi
7 Hematemesis melena
8 Hematochezia
9 Hipertensi maligna
10 Keracunan makanan
11 Keracunan obat
12 Koma metabolic
13 Leptospirosis
14 Malaria
15 Observasi shock

VIII THT 
1 Abses di bidang THT & kepala leher
2 Benda asing laring/trachea/bronkus,
dan benda asing tenggorokan
3 Benda asing telinga dan hidung
4 Disfagia
5 Obstruksi jalan nafas atas grade II/
III Jackson
6 Obstruksi jalan nafas atas grade IV
Jackson
7 Otalgia akut (apapun penyebabnya)
8 Parese fasialis akut
9 Perdarahan di bidang THT
10 Syok karena kelainan di bidang THT
11 Trauma (akut) di bidang THT ,Kepala
dan Leher
12 Tuli mendadak
13 Vertigo (berat)

IX Syaraf 
1 Kejang
2 Stroke
3 Meningo enchepalitis



Kamis, 16 November 2017

Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja

Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja


Pengertian tentang kecelakaan didefinisikan jadi suatu moment yg tidak terduga, semua yg tidak dikehendaki, yang mengacaukan sistem yang telah diatur dari suatu aktivitas, dan dapat mengakibatkan kerugian baik manusia, ataupun harta benda. Sedangkan kecelakaan kerja ialah suatu moment atau peristiwa yg tidak dikehendaki, tak terduga, dan tidak terencana, yang mengakibatkan sakit, luka dan kerugian baik pada lingkungan, barang atau manusia.
Untuk hindari penyebab terjadinya kecelakaan kerja, maka kita perlu mempelajari sebab-sebab kecelakaan kerja, hingga dapat mengecilkan angka kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat bersumber dari faktor manusia, dan faktor lingkungan.

Faktor manusia

kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh kekeliruan manusia yaitu sebagai berikut :

1. Ketidaktahuan

Dalam menggerakkan mesin-mesin, dan peralatan diperlukan pengetahuan yang cukup oleh teknisi. Bila teknisi kurang pengetahuannya, maka dapat jadi pemicunya terjadinya kecelakaan. Pengetahuan dari operator dalam menggerakkan peralatan kerja, memahami karakter dari semasing mesin, dan lain sebagainya. Hal tersebut, jadi sangat penting, bila hal tersebut hanya sembarangan, maka juga akan membahayakan peralatan dan manusia itu sendir.

2. Kekuatan yang Kurang

Tingkat pendidikan teknisi sangat diperlukan untuk sistem produksi dan sistem maintenance (perawatan). Orang yang memiliki kekuatan tinggi, biasanya juga akan bekerja dengan lebih baik, dan memperhatikan faktor keselamatan kerja pada pekerjaanya. Oleh karena itu, selalu untuk mengasah kekuatan, agar mengecilkan dan terlepas dari kecelakaan kerja.

3. Keterampilan yang Kurang

Setelah kekuatan pengetahuan teknisi baik, maka diperlukan latihan lewat cara terus menerus agar keterampilan semakin baik. Hal seperti ini untuk tingkatkan ketrampilan, agar meminimalisir kesalahan dalam bekerja, dan kurangi angka kecelakan kerja.

4. Konsentrasi yang Kurang

Dalam melakukan pekerjaan, pekerja dituntut untuk konsentrasi tinggi. Mesin-mesin yang beroperasi, berputar-putar, dan bergerak, tidak memiliki toleransi bila karyawan salah dalam mengoprasikannya. Banyak hal yang meyebabkan hilangnya konsentrasi manusia, seperti persoalan pribadi atau keluarga, persoalan ekonomi, maupun beberapa faktor yang datangnya dari lingkungan, seperti kondisi panas, dingin, bising dll.

5. Bermain-main

Karakter seorang yang sukai bermain-main dalam bekerja, dapat jadi salah satu pemicunya terjadinya kecelakaan kerja. Demikian juga dalam bekerja yang tergesa-gesa dan sembrono bisa pula menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Oleh karena itu, dalam setiap melakukan pekerjaan, sebaiknya dilakukan dengan cermat, jeli, dan hati-hati, agar terlepas dari kecelakaan kerja.

6. Bekerja Tanpa Peralatan Keselamatan

Pekerja tertentu, mengharuskan pekerja memakai perlatan keselamatan kerja. Peralatan keselamatan kerja, di desain buat perlindungan beberapa pekerja dari bahaya yang diakibatkan dari pekerjaan yang dikerjakannya. Dengan mengembangnya teknologi saat ini, telah di buat alat keselamatan yang nyaman dan aman ketika dipakai. Peralatan keselamatan itu salah satunya helm pengaman, kacamata las, kacamata, baju (wearpack), sarung tangan, sepatu safety, masker, penutup telinga, tali pengaman untuk pekerja di ketinggian, dan lain sebagainya. Jika pekerja tidak memakai perlatan keselamatan, maka itu beresiko, dan berpontensi terjadinya kecelakaan kerja.

7. Mengambil Resiko yg Tidak Tepat

Karena tidak mau repot dalam bekerja, pekerja terkadang melakukan tindakan yang mencerminkan tindakan tidak selamat. Jadi contoh pekerja las malas mengambil topeng las atau kacamata las dirak keselamatan kerja, pekerja segera mengelas tanpa ada pelindung mata, tanpa ada diguga ada percikan api yang mengenai mata pekerja. Setelah dilakukan pengobatan, nyatanya biaya pengobatan tidak sebanding dengan beberapa detik untuk mengambil peralatan keselamatan kerja.

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan juga ikut andil dalam menyumbang terjadinya kecelakan kerja. Faktor itu yaitu sebagai berikut :

1. Tempat Kerja yg Tidak Layak

Tempat kerja harus penuhi sarat-sarat keselamatan kerja. Seperti ukuran tempat kerja, ventilasi udara, penerangan, dan lain sebagainya. Apabila tempat kerja tidak penuhi persaratan keselamatan kerja yang diputuskan, maka kecelakan kerja kemungkinan besar terjadi.

2. Kondisi Peralatan yang Berbahaya

Peralatan kerja serta mesin-mesin, pada dasarnya jadi sumber kecelakan kerja dan memiliki kandungan bahaya. Misalnya mesin-mesin yang bergerak atau berputar-putar, bergesekan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mesin-mesin yang berpontensi bahaya, harus diberi pelindung agar tidak membahayakan pekerja.

3. Beberapa Bahan dan Peralatan yang Bergerak

Perpindahan barang-barang yang berat atau yang beresiko, dari satu tempat ketempat yang lain, sangat bisa saja terjadinya kecelakan kerja. Untuk hindari kecelakan kerja itu, perlu dilakukan pemikiran dan perhitungan yang sangat masak, baik cara mengubahkannya, alat yang dipakai, jalur yang akan dilalui, siapa yang akan memindahkan, dan lain sebaginya. Untuk peralatan dan bahan-bahan yang berat, diperlukan sebuah alat bantu untuk memindahkannya, yaitu forklift.

5. Transportrasi

Kecelakaan kerja yang diakibatkan dari penggunaan alat transportasi juga cukup banyak. Dari penggunaan alat yg tidak tepat, beban yang berlebihan (overload), jalan yg tidak baik, kecepatan kendaraan yang berlebihan, peletakan beban yg tidak baik, semua dapat mempunyai potensi untuk terjadinya kecelakaan kerja.

Faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Proses project konstruksi yang melibatkan banyak tenaga kerja, material dalam jumlah yang begitu besar dan sebagian perlengkapan, baik bekerja dengan sendiri-sendiri atau bersama pada sumber daya-sumber daya itu bisa jadi sumber terjadinya kecelakaan kerja karena terlalu kompleks. Banyak proses project konstruksi yang tidak lengkapi projectnya dengan peralatan keselamatan dan kesehatan kerja yang baik, walau sebenarnya proses project konstruksi bisa menyebabkan kemungkinan kecelakaan kerja yang begitu tinggi.
Kecelakaan-kecelakaan kerja yang berlangsung dalam sistem konstruksi bisa menghalangi sistem konstruksi tersebut hingga maksud manajemen project tidak terwujud seperti menambahkan pembiayaan yang tidaklah perlu karena terjadinya kecelakaan kerja dan dari segi waktu juga akan perlambat sistem proses konstruksi hingga kemampuan kontraktor alami penurunan dan kendala. Ini sebagai pertimbangan untuk perusahaan-perusahaan kontraktor dalam mengaplikasikan system manajemen K3 yang baik.  Dalam sistem konstruksi biasanya ini disebut kunci paling utama untuk tercapainya tujuan dari manajemen project yang berhasil dan keamanan pada tenaga kerja.
Ketahui beberapa aspek menguasai aplikasi program K3 yang punya pengaruh pada kemampuan kontraktor pada proses project konstruksi begitu perlu. diinginkan bisa memberi referensi yang bermanfaat untuk jadikan bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijaksanaan pihak kontraktor jadi pelaksana pada aplikasi program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Kemampuan Kontraktor
Stoner (1996) mengatakan, kemampuan yaitu jumlah dan kwalitas pekerjaan yang dikerjakan oleh individu, grup atau organisasi. Segi kemampuan terbagi dalam tiga komponen yakni kwalitas, jumlah dan efektifitas. Menurut Curties (1991), pendekatan umum dalam memastikan berhasil atau tidaknya satu project konstruksi yakni dengan mengevaluasi kemampuan di mana maksud dari client seperti cost, waktu dan kualitas sudah diraih.
Komponen System Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Reese dan Eidson (2006) mengatakan, tinjauan ringkas untuk program keselamatan dan kesehatan kerja, yakni :
1. Komunikasi
  • Ada kebijakan tertulis mengenai keselamatan kerja
  • Ada daftar dari perusahaan mengenai ketentuan problem K3
  • Seringkali diselenggarakan pertemuan mengenai K3
2. Mempraktekkan bekerja dengan aman
  • Melatih tiap-tiap individu dalam melakukan pekerjaan/pekerjaan yang penuh resiko
  • Mesin dan daftar pemeliharaannya digunakan
  • Memakai alat pelindung diri seperti jaket safety, helm safety dan sepatu safety.
3. Pengawasan keselamatan kerja
  • Pemeriksaan keselamatan dengan formal diadakan sedikitnya mingguan
  • Dikerjakan kontrol keselamatan dengan visual keseharian
  • Ikuti atas semuanya saran keselamatan kerja
  • Penilaian pekerjaan diadakan oleh pengawas
  • Ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja mesti diperkuat
4. Latihan
  • Memiliki satu gagasan kursus keselamatan kerja
  • Memiliki garis-garis besar untuk session pelatihan
  • Memiliki satu pendekatan systematis untuk pekerjaan pelatihan
  • Memiliki analisis keselamatan kerja/pekerjaan atau prosedur operasional keselamatan untuk tiap-tiap klasifikasi pekerjaan
  • Penyelidikan Kecelakaan
  • Semuanya kecelakaan mesti diselidiki
  • Memakai format penyelidikan kecelakaan

DEFINISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

DEFINISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Hey guys kali ini mau share aja sedikit tentang arti K3 itu apa, Banyak yang beranggapan K3 itu cuma fokus ke keselamatan secara teknis saja,dan juga ada yang beranggapan mengendalikan serta mencegah seluruh resiko kerugian  yang dapat terjadi di sebuah tempat kerja karena suatu keadaan dan perilaku kerja yang menyimpang.
Berdasarkan Perundang- Undangan No 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.
Secara Etimologis :
Memberikan upaya perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat dan agar setiap sumber produksi perlu dipakai dan digunakan secara aman dan efisien
Secara Filosofi :
Suatu konsep berfikir dan upaya nyata untuk menjamin kelestarian tenaga kerja dan setiap insan pada umumnya beserta hasil karya dan budaya dalam upaya mencapai adil, makmur dan sejahtera
Secara Keilmuan :
Suatu cabang ilmu pengetahuan dan penerapan yang mempelajari tentang cara penanggulangan kecelakaan di tempat kerja.
DASAR HUKUM:
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 :
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
UU No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai ketenagakerjaan
Pasal 3
Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan
Pasal 9
Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama
Pasal 10
Pemerintah membina norma perlindunggan tenaga kerja yang meliputi norma keselamatan kerja, norma kesehatan kerja, norma kerja, pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja.
TUJUAN K3
1.Tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dalam pekerjaannya
2.Orang lain yang berada di tempat kerja perlu menjamin keselamatannya
3.Sumber-sumber produksi dapat dipakai secara aman dan efisien
Untuk melaksanakan tujuan dengan melalui :
1.Kampanye
2.Pemasyarakatan
3.Pembudayaan
4.Kesadaran dan kedisiplinan
UU NO. 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA
BAB I – ISTILAH
Pasal 1
(1)Tempat kerja
1.Ruangan/ lapangan
2.Tertutup/ terbuka
3.Bergerak/ tetap
Unsur tempat kerja, ada :
(1) Pengurus
(2) Sumber bahaya
(3) usaha
(2)Pengurus ® pucuk pimpinan (bertanggung jawab/ kewajiban)
(3)Pengusaha
orang/ badan hukum yg menjalankan usaha atau tempat kerja
(4)Direktur
pelaksana UU No. 1/1970 (Kepmen No. 79/Men/1977)
(5)Pegawai pengawas
– peg. Pengawas ketenagakerjaan dan spesialis
(6)Ahli Keselamatan Kerja
tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Depnaker
BAB II – RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1)Tempat kerja, dalam wilayah hukum R.I :
a.Darat, dalam tanah
b.Permukaan air, dalam air
c.Udara
(2)Rincian tempat kerja, terdapat sumber bahaya yg berkaitan dengan :
a.Keadaan mesin/ alat/ bahan
b.Lingkungan kerja
c.Sifat pekerjaan
d.Cara kerja
e.Proses produksi
(3)Kemungkinan untuk perubahan atas rincian tempat kerja
Syarat-syarat K3
Pasal 3
(1)Arah dan sasaran yang akan dicapai melalui syarat-syarat K3
(2)Pengembangan syarat-syarat K3 di luar ayat (1) ® IPTEK
Pasal 4
(1)Penerapan syarat-syarat K3 ® sejak tahap perencanaan s/d pemeliharaan
(2)Mengatur prinsip-prinsip teknis tentang bahan dan produksi teknis
(3)Kecuali ayat (1) dan (2) bila terjadi perkembangan IPTEK dapat ditetapkan lebih lanjut
Pasal 5
(1)Direktur sebagai pelaksana umum
(2)Wewenang dan kewajiban :
–direktur (Kepmen No. 79/Men/1977)
–Peg. Pengawas (Permen No. 03/Men/1978 dan Permen No. 03/Men/1984)
–Ahli K3 (Permen No. 03/Men/1978 dan Permen No. 4/Men/1992)
Pasal 6 Panitia banding (belum di atur)
Pasal 7 Retribusi
Pasal 8
(1)Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan TK
(2)Berkala ® (permen No. 02/Men/1980 dan Permen No. 03/Men/1983)
Pasal 9 – Pembinaan
(1)Pengurus wajib menunjukan dan menjelaskan ® TK baru
(2)Dinyatakan mampu dan memahami ® pekerja
(3)Pengurus wajib ® pembinaan
(4)Pengurus wajib memenuhi dan mentaati syarat-syarat K3
Pasal 10 – Panitia Pembina K3 (Permenaker No. 04/Men/1984)
Pasal 11 – Kecelakaan
(1)Kewajiban pengurus untuk melaporkan kecelakaan
(2)Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan (permen No. 03/Men/1998)
Pasal 12 – Hak dan Kewajiban TK
a.Memberi keterangan yang benar (peg. Pengawas dan ahli K3)
b.Memakai APD
c.Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat K3
d.Meminta kepada pengurus agar dilaksanakan syarat-syarat K3
e.Menyatakan keberatan kerja bila syarat-syarat K3 tidak dipenuhi dan APD yang wajib diragukan
Pasal 13 – Kewajiban memasuki tempat kerja
Barangsiapa akan memasuki suatu tempat kerja diwajibkan mentaati K3 dan APD
Pasal 14 – Kewajiban pengurus
a.Menempatkan syarat-syarat K3 di tempat kerja (UU No. 1/1970 dan peraturan pelaksananya)
b.Memasang poster K3 dan bahan pembinaan K3
c.Menyediakan APD secara cuma-cuma
Pasal 15 – Ketentuan Penutup
(1)Pelaksanaan ketentuan pasal-pasal di atur lebih lanjut dengan peraturan perundangan
(2)Ancaman pidana atas pelanggaran :
•Maksimum 3 bulan kurungan atau
•Denda maksimum Rp. 100.000
(3)Tindak pindana tersebut adalah pelanggaran
Pasal 16
Kewajiban pengusaha memenuhi ketentuan undang-undang ini paling lama setahun (12 Januari 1970)
Pasal 17
Aturan peralihan untuk memenuhi keselamatan kerja ® VR 1910 tetap berlaku selama tidak bertentangan
Pasal 18
Menetapkan UU No. 1/ 1970 sebagai undang-undang keselamatan kerja dalam LNRI No. : 1918 mulai tanggal 12 Januari 1970
PERATURAN PELAKSANAAN UU No. 1 Tahun 1970 – 1
•Secara sektoral
– PP No. 19/1973
– PP No. 11/ 1979
– Per.Menaker No. 01/1978 K3 Dalam Penebangan dan Pengaangkutan Kayu
– Per.Menaker No. 01/1980 K3 Pada Konstruksi Bangunan
•Pembidangan Teknis
– PP No. 7/1973 – Pestisida
– PP No. 11/ 1975 – Keselamatan Kerja Radiasi
– Per.Menaker No. 04/1980 – APAR
– Per.Menaker No. 01/1982 – Bejana Tekan
– Per.Menaker No. 02/1983 – Instalasi Alarm Kebakaran Otomatik
– Per.Menaker No. 03/1985 – Pemakaian Asbes
– Per.Menaker No. 04/1985 – Pes. Tenaga & Prod.
– Per.Menaker No. 05/1985 – Pes. Angkat & Angkut
•Pembidangan Teknis
– Per.Menaker No. 04/1998 – PUIL
– Per.Menaker No. 02/1989 – Instalasi Petir
– Per.Menaker No. 03/1999 – Lif Listrik
•Pendekatan SDM
– Per.Menaker No. 07/1973 – Wajib Latih Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan
– Per.Menaker No. 01/1979 – Wajib Latih Bagi Paramedis
– Per.Menaker No. 02/1980 – Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
– Per.Menaker No. 02/1982 – Syarat dan Kwalifikasi Juru Las
– Per.Menaker No. 01/1988 – Syarat dan Kwalifikasi Oparetor Pesawat Uap
– Per.Menaker No. 01/1979 – Syarat dan Kwalifikasi Operator Angkat dan Angkut
– Per.Menaker No. 02/1992 – Ahli K3
– Kep.Menaker No. 407/1999 – Kompetens Tehnis Lif
– Kep.Menaker No. 186/1999 – Pengorganisasian Penanggulangan Kebakaran
•Pendekatan Kelembagaan dan Sistem
– Per.Menaker No. 04/1987 – P2K3
– Per.Menaker No. 04/1995 – Perusahaan Jasa K3
– Per.Menaker No. 05/1996 – SMK3
Dengan adanya peraturan yang mengatur tentang keselamatan kerja, seluruh sektor dapat menerapkan K3  dengan berbagai aplikasi dan konsep yang mendukung. K3 dapat dialikasikan seluruh sektor/Jenis pekerjaan karena K3 sendiri suatu program yang terstruktur oleh perusahaan dengan komitmen yang dimiki suatu perusahaan untuk meningkatkan sumberdaya Manusia maupun Pendapat perusahaan meningkat dengan adanya Zero Accident disuatu perusahaan. Jenis yaitu K3 Sektor Oil dan Gas, K3 Sektor Pertambangan, K3 Sektor Konstruksi, K3 Sektor Kelistrikan, K3 Sektor Lingkungan Hidup, K3 Sektor Maritim/Kelautan, K3 sektor Rumah Sakit, dan K3 Perhotelan.

PERENCANAAN KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN DAN PENDIDIKAN KESEHATAN

PERENCANAAN KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN DAN PENDIDIKAN KESEHATAN

Komunikasi merupakan kegiatan pokok dalam program promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan. Proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran tertentu/media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi.

Pesan berupa isi ajaran yang ada dalam kurikulum dituangkan oleh guru atau sumber lain ke dalam simbol-simbol komunikasi baik simbol verbal (katakata lisan ataupun tertulis) maupun simbol non-verbal atau visual.

Proses penuangan pesan ke dalam simbol-simbol komunikasi itu disebut encoding.
Sedangkan proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang mengandung pesan-pesan tersebut disebut decoding. Decoding merupakan proses pengolahan informasi yang meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir.


1. Sensasi
Sensasi adalah proses menangkap stimulasi melalui alat indera
kemudian informasi tersebut diubah menjadi impuls-impuls saraf dengan
bahasa yang dapat dipahami oleh otak. Sensasi merupakan pengalaman
elementer yang segera, tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis atau
konseptual dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.
Alat indera manusia sangat terbatas dalam merespon suatu stimuli. Mata
manusia normal hanya mampu menangkap stimuli yang mempunyai
panjang gelombang cahaya antara 380 sampai 780 nanometer. Telinga
manusia hanya dapat mendengar frekuensi 20 – 20.000 Hz. Sensasi taktil
dihasilkan oleh reseptor tekanan yang terdapat di dalam kulit dan kepekaan
indera raba diukur berdasarkan kemampuan membedakan dua titik pada
jarak tertentu. Jari tangan merupakan bagian tubuh yang paling peka
terhadap sensasi taktil, yaitu dapat membedakan dua titik pada jarak 2
sampai 3 mm.

2. Persepsi
Persepsi adalah pengamatan terhadap suatu objek melalui aktivitas
indera yang disatukan dan dikoordinasikan oleh pusat saraf. Persepsi
diawali dengan stimuli indera, yang kemudian mengalami proses seleksi,
proses interpretasi, dan proses pendekatan. Interaksi proses-proses tersebut
akan membentuk respon berupa memori permanen. Persepsi tidak hanya
dipengaruhi sensasi, tetapi juga atensi (perhatian), ekspektasi, motivasi, dan
memori.

Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli
menjadi menonjol dalam kesadaran, pada saat stimuli lainnya melemah.
Perhatian dapat terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu
alat indera kita dan mengesampingkan masukan-masukan dari indera lain.
Perhatian dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional dan personal.
Faktor situasional yang berasal dari luar dan menjadi menarik
perhatian, biasanya mempunyai sifat-sifat yang menonjol, seperti suatu
gerakan, intensitas stimuli, kebaruan dan perulangan.

3. Memori
Memori adalah sistem yang sangat berstruktur yang menyebabkan
organisme sanggup merekam fakta-fakta tentang dunia dan menggunakan
pengetahuannya untuk membimbing perilakunya. Memori melewati tiga
proses yaitu perekaman, penyimpanan dan pemanggilan. Perekaman adalah
pencatatan informasi melalui reseptor indera dan sirkit saraf internal,
selanjutnya informasi tersebut disimpan. Penyimpanan dapat bersifat aktif
bila terjadi penambahan informasi sejenis dan bersifat pasif bila tidak terjadi
penambahan. Ketika dibutuhkan informasi yang tersimpan akan dipanggil,
dalam istilah sehari-hari pemanggilan informasi disebut mengingat.

4. Berfikir
Berfikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk
memenuhi kebutuhan atau memberikan respon. Dalam berfikir, seseorang
akan melibatkan proses sensasi, persepsi dan memori dan orang melakukan
kegiatan berfikir untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan
menghasilkan yang baru.

Pendidikan bila dipahami sebagai proses komunikasi dapat dipahami
karena stimuli yang berujud pesan kemudian menjadi sensasi dan
dipersepsikan oleh penerima pesan untuk disimpan dimemori sebagai modal
untuk berfikir dalam berperilaku. Inti dari pendidikan pada dasarnya adalah
penyebaran tata nilai. Tata nilai yang disebarkan tersebut menjadi
pengetahuan bagi peserta didik dan kemudian menjadi alat untuk
memandang, menafsirkan dan menghayati dunianya dengan
mengembangkan dan memelihara akal budinya.

Beberapa model perencanaan komunikasi telah dikembangkan dalam
bidang promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan, seperti:
1. Model Precede-Procede yang dikembangkan Green dan Kreuter
(1991)
2. Model P-Process yang dikembangkan Population Communication
Service (1982)
3. Model Perencanaan Promosi/Pendidikan Kesehatan yang
dikembangkan Dignan dan Carr (1992)


Model-model tersebut secara singkat dapat digambarkan dalam skema di
bawah ini.







MODEL P-PROCESS
Tahap 1: Analisis
Program promosi/pendidikan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan
pengetahuan, sikap, dan perilaku, melalui proses komunikasi harus
didahului dengan informasi yang akurat dan pemahaman yang mendalam
tentang:

1. Masalah
Masalah didapatkan dari analisis data demografi, data kesehatan,
hasil survei, temuan penelitian, dan data lain yang dapat dijadikan
dasar untuk menyimpulkan akar masalah kesehatan.

2. Sasaran (audiens)
Karakteristik masyarakat ditentukan oleh faktor geografi, demografi,
ekonomi, dan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan,
sikap, dan perilaku adalah umur, jenis kelamin, penghasilan,
kepribadian, gaya hidup, norma, dan faktor khas individu/komunitas
yang lainnya, serta paparan media promosi/pendidikan kesehatan.

3. Program dan kebijakan
Analisis SWOT dapat dilakukan terhadap program dan kebijakan
promosi/pendidikan kesehatan yang telah ada. Sehingga kekurangan
yang terjadi dapat dikoreksi, dan kelebihannya dapat dioptimalkan.

4. Organisasi/lembaga
Analisis lain yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi
organisasi/lembaga yang berkompeten, berkomitmen, dan terkait
dengan program promosi/pendidikan kesehatan yang akan
dilakukan. Organisasi/lembaga tersebut, di samping akan
memudahkan pelaksanaan program promosi/pendidikan kesehatan,
juga memungkinkan adanya bantuan pendanaan program agar dapat
berkelanjutan.

5. Saluran komunikasi
Penilaian juga harus dilakukan terhadap keberadaan, jangkauan, dan
biaya suatu media promosi/pendidikan kesehatan yang dipilih, termasuk penilaian terhadap kebiasaan sasaran/audiens dalam
mengakses suatu media.


Tahap 2: Merancang Strategi
Rancangan strategi promosi/pendidikan kesehatan yang akan dilakukan
dibuat dengan memperhitungkan 7 unsur pokok berikut ini:
1. Tujuan SMART
Tujuan komunikasi harus
- Spesifik
- Measurable
- Appropiate
- Realistic
- Time-bound
2. Posisi
Rancangan strategi promosi/pendidikan kesehatan harus diposisikan
pada sasaran yang memerlukannya atau rancangan strategi
promosi/pendidikan kesehatan diposisikan secara spesifik, baik
bentuk ataupun sasaran audiens.
3. Model Perubahan Perilaku
Asumsi tentang perilaku sasaran harus tetap dijadikan dasar strategi
promosi/pendidikan kesehatan. Informasi tentang mengapa,
bagaimana, dan apa tujuan yang diharapkan, dapat membuat sasaran
tertarik untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilakunya.
4. Media dan aktivitas
Media utama dan media pendukung untuk penyampaikan informasi,
termasuk mobilisasi komunitas dan komunikasi interpersonal:
keluarga, teman, komunitas, jaringan sosial, & penyedia layanan
media. Pendeketan multimedia perlu dipertimbangkan
5. Penulisan rancangan stategi
Rancangan strategi yang dituliskan meliputi: tujuan, posisi, tahapan,
teori perubahan perilaku, dan aktivitas utama promosi/pendidikan
kesehatan.
6. Rencana implementasi
Merupakan tanggung jawab manajemen untuk melakukan anggaran
rinci program, penjadwalan, dan pengukuran kemajuan program,
melalui laporan rutin.
7. Evaluasi
Pengukuran keberhasilan program dilakukan dengan pengumpulan
data dari berbagai sumber. Perencanaan sistem evaluasi dan
pengumpulan data dilakukan sebelum implementasi program.


Tahap 3: Pengembangan, Pretes, dan Produksi Media dan Pesan
Merupakan perpaduan antara ilmu dan seni. Pesan disampaikan dalam
bentuk ilustrasi, kata kunci, alur tema, atau cerita yang menggambarkan
seluruh program. Pesan sebaiknya dibuat singkat dan jelas, dengan
mengunakan gambar yang menarik perhatian.
Media diproduksi dengan melibatkan tenaga profesi kesehatan dan ahli
media dan komunikasi, sehingga produk yang dihasilkan dapat berkualitas
tinggi. Pretes, sebagai alat uji media dan program, dilakukan pada kelompok
yang sebanding dengan sasaran, sebelum produksi dilakukan

Tahap 4: Manajemen, Implementasi, dan Monitoring
Manajemen yang baik akan melaksanakan sesuai dengan rencana strategi
dan implementasi program promosi/pendidikan kesehatan. Implementasi
menekankan pada partisipasi maksimal dan keluwesan. Monitoring
dilakukan untuk menjaga agar program berjalan sesuai rencana, dan
masalah dapat diketahui secara cepat dan dapat segera dipecahkan.
Hal-hal yang perlu dilakukan adalah:

1. Orientasi pada hasil
Perhatian dan tenaga dicurahkan pada pencapaian hasil yang
diharapkan, tidak terpaku pada keberadaan institusi, kegiatan, dan
prosedur.
2. Iklim organisasi
Organisasi harus mempunyai nilai lebih pada kreativitas, kerjasama,
dan keinginan untuk maju.
3. Koordinasi
Koordinasi antar pelaksana program dilakukan dengan tukar
menukar informasi, dan berpedoman pada rencana anggaran dan
implementasi yang telah disepakati bersama.
4. Diseminasi rencana
Rencana program harus disampaikan pada semua pihak terkait,
berkompeten, dan berkomitmen terhadap program, agar cakupan
program dapat dicapai secara maksimal.
5. Pemantauan keluaran dan kegiatan
Pemantauan dilakukan terhadap produksi, kinerja, volume, kualitas,
dan distribusi tahap-tahap program
6. Menanggapi masukan
Masukan dapat dijadikan dasar untuk memecahkan masalah yang
muncul dalam pelaksanaan program.

Tahap 5: Evaluasi Dampak
Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan, perubahan tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku dari sasaran, atau perubahan kebijakan.
Rencana evaluasi dampak dilakukan di awal program. Untuk mengevaluasi
dampak diperlukan data sebelum dan sesudah perlakuan (program) dari
sasaran, atau dengan membandingkan kelompok sasaran dengan kelompok
lain yang tidak mendapatkan paparan program, atau dengan studi
longitudinal.
Tahap-tahap perubahan perilaku dapat dijadikan alat evaluasi, untuk
menunjukkan apakah program dapat mengubah perilaku atau tidak.

Evaluasi biaya program dapat dilakukan dengan membandingkan
biaya program yang dilakukan dengan beberapa program sejenis yang telah
dilakukan.
Tahap 6: Perencanaan Program lanjutan
Program lanjutan dapat dilakukan, dalam bentuk:
1. Pengulangan program dengan perbaikan kegagalan/kekurangan.
2. Perubahan tujuan, posisi, dan strategi untuk menemukan masalah
baru.
3. Perubahan sasaran program.
4. Membentuk koalisi dengan lembaga lain dengan program sejenis.



Bahan Acuan
Departemen Kesehatan RI. (1997). Deklarasi jakarta Tentang Promosi
Kesehatan pada Abad 21. Jakarta: PPKM Depkes RI.
Dignan, M.B., Carr, P.A. (1992). Program Planning for Health Education
and Promotion. 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger.
Ewles, L., Simnett, I. (1994). Promoting Health : A Practical Guide. Emilia,
O (Alih Bahasa). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ganong, W.F. (1998). Review of Medical Physiology. Dharma, A. (Alih
Bahasa). Edisi 16. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Perkins, E.R., Simnett, I., Wright, L. (1999). Evidence-based Health
Promotion. Chichester: John Wiley & Sons.
Rahmat, J. (2001). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., Rahardjito (2002). Media
Pendidikan : Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sarwono, S.W. (1992). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: P.T. Rajawali
Press.
Schumacher, E.F. (1987). Kecil itu Indah, Ilmu Ekonomi yang
Mementingkan Rakyat Kecil. Jakarta: LP3ES
Subarniati, R. Saenun. Qomaruddin, M.B. Rahayuwati, L. Hargono, R.
(1996). Dasar-Dasar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Surabaya: Bagian Pendidikan Kesehatan dan Perilaku, Fakultas Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga.
Walgito, B. (1999). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta.
World Health Organization. (1998). Health Promotion Glosarry. Geneva:
HPR-HEP WHO.
___________________. (2000). Health Promotion.
http://www.who.int/health-promotion
Yusuf, S. (2002). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Rosdakarya.
Bandung

DASAR-DASAR PENDIDIKAN KESEHATAN

DASAR-DASAR PENDIDIKAN KESEHATAN

Pendidikan kesehatan adalah kesempatan untuk belajar tentang
kesehatan, meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan dan melakukan
perubahan-perubahan secara suka rela dalam tingkah lakunya, melalui
berbagai bentuk komunikasi yang direncanakan.

Pendidikan kesehatan tidak hanya memberi perhatian pada
komunikasi informasi, tetapi juga membantu pengembangan
motivasi, ketrampilan, dan kepercayaan diri, yang diperlukan untuk
membuat langkah dalam meningkatkan derajat kesehatan. Komunikasi
dalam pendidikan kesehatan menyampaikan informasi tentang faktor risiko
atau perilaku berisiko dan pemanfaatan sistem pelayanan kesehatan
(fasilitas/sumber daya), dalam kerangka kondisi sosial, ekonomi, dan
lingkungan.

Pendidikan kesehatan meliputi komunikasi informasi dan
pengembangan ketrampilan, dalam pelaksanaannya harus menunjukkan
kelayakan secara politis dan organisatoris yang ditujukan pada determinan
kesehatan (sosial, ekonomi, dan lingkungan). Dalam perkembangannya,
pendidikan kesehatan meluas aksinya dengan menggunakan strategi
mobilisasi dan advokasi, sehingga pendidikan kesehatan termasuk dalam lingkup promosi kesehatan.



DASAR-DASAR PROMOSI KESEHATAN

DASAR-DASAR PROMOSI KESEHATAN

Promosi Kesehatan adalah proses pemberdayaan masyarakat untuk
dapat memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya. Dengan
promosi kesehatan diharapkan masyarakat mampu mengendalikan
determinan kesehatan. Partisipasi merupakan sesuatu yang penting dalam
upaya promosi kesehatan.

Promosi kesehatan merupakan proses komprehensif sosial dan
politik, bukan hanya mencakup upaya peningkatan kemampuan dan
ketrampilan individual, tetapi juga upaya yang bertujuan mengubah
masyarakat, lingkungan, dan kondisi ekonomi, agar dampak negatif
terhadap kesehatan individu dan masyarakat dapat dikurangi.

Promosi kesehatan mempunyai 3 strategi dasar, yaitu:
1. Advokasi kesehatan1, untuk menciptakan kondisi ideal untuk
sehat2.
Merupakan perpaduan antara aksi individu dan sosial yang dirancang
untuk mendapatkan komitmen politik, dukungan kebijakan,
penerimaan sosial, dan dukungan sistem untuk tujuan kesehatan atau
program kesehatan.
2. Pemberdayaan masyarakat, untuk mencapai derajat kesehatan
optimal.
Merupakan proses yang mengantarkan masyarakat dalam
mendapatkan kemampuan mengendalikan keputusan dan
tindakannya dalam kesehatan.
3. Mediator bagi berbagai kepentingan dalam masyarakat di bidang
kesehatan3.

Merupakan proses rekonsiliasi berbagai kepentingan (personal,
sosial, ekonomi) dari individu dan komunitas, dan berbagai sektor
(publik dan pribadi) dalam peningkatan dan perlindungan kesehatan.


Strategi dasar ini didukung oleh 5 kegiatan, yaitu:

1. Membangun kebijakan publik yang berwawasan sehat
Strategi ini mempunyai karakteristik berupa kebijakan yang berpihak
terhadap kesehatan dan kesetaraan dalam semua area kebijakan, dan
terukur dampak terhadap kesehatan. Strategi mempunyai tujuan
membuat lingkungan yang mendukung setiap manusia untuk hidup
sehat. Kebijakan harus membuat pilihan untuk sehat menjadi
mungkin dan lebih mudah bagi setiap warga negara. Kebijakan publik
dalam sektor kesehatan, harus didukung dengan komitmen setiap
kebijakan publik untuk memperhitungkan dampak terhadap
kesehatan. Implikasi kesehatan dari kebijakan publik seperti
kebijakan tentang perumahan, lapangan pekerjaan, persamaan hak,
transportasi, dan hiburan.
Sebagai contoh kebijakan transportasi yang baik akan mengurangi
kepadatan lalu lintas jalan, mengurangi polusi udara dan suara,
mengurangi pemakaian bahan bakar karbon, dan mengurangi
tekanan psikologis pengguna jalan.

2. Membuat lingkungan yang mendukung untuk sehat.
Lingkungan harus melindungi manusia dari ancaman bagi
kesehatannya. Lingkungan juga harus mendukung manusia untuk
meningkatkan kemampuan dan mengembangkan kepercayaan diri
dalam kesehatan. Hal ini meliputi tempat tinggal, komunitas lokal,
rumah, tempat bekerja, fasilitas umum, termasuk akses pada sumber
daya kesehatan, dan peluang untuk pemberdayaan.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kesehatan
Partisipasi dapat dilakukan dengan menghimpun sumber daya yang
ada dalam masyarakat yang dapat dijadikan modal untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan
determinan kesehatan. Sehingga masyarakat dapat membuat
langkat-langkah dalam meningkatkan derajat kesehatan, yang
didasarkan pada penentuan prioritas masalah, pembuatan keputusan,
perencanaan, dan penerapan.

4. Mengembangkan ketrampilan anggota masyarakat
Setiap anggota masyarakat harus dapat mengendalikan dan mengatur
hidupnya, dan mengembangkan kemampuan dalam mengubah
perilaku. Hal-hal yang dapat dikembangkan adalah kemampuan
untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah kesehatan,
berpikir kreatif dan kritis, kepercayaan diri, empati, kemampuan
komunikasi, mengendalikan emosi, dan mengatasi tekanan.

5. Reorientasi pelayanan kesehatan
Reorientasi dilakukan pada organisasi pelayanan kesehatan dan
pembiayaan kesehatan. Sistem pelayanan kesehatan yang
menfokuskan pada kebutuhan individu, harus diseimbangkan dengan
kebutuhan populasi. Strategi ini melibatkan profesi kesehatan,
institusi pelayanan kesehatan, dan pemerintah. Hal ini berarti harus
ada keseimbangan antara upaya promosi kesehatan, pencegahan
penyakit, diagnosis, pengobatan, perawatan, dam pelayanan
rehabilitasi.


Pendekatan komprehensif dalam pembangunan kesehatan adalah
langkah yang paling efektif, dengan mengombinasikan 3 stratedi dasar dan 5
program prioritas. Partisipasi masyarakat berarti masyarakat menjadi pusat
kegiatan promosi kesehatan dan proses pengambilan keputusan. Partisipasi
dan pemberdayaan masyarakat dapat dicapai dengan kemudahan
mengakses pendidikan dan informasi.


Program promosi kesehatan yang menjadi prioritas di abad XXI
adalah:
1. Mendorong kepedulian masyarakat pada kesehatan
2. Meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan
3. Memperluas kemitraan dalam promosi kesehatan
4. Meningkatkan kemampuan komunitas dan kekuatan individu
5. Memelihara infrastruktur dalam promosi kesehatan

Rabu, 15 November 2017

PENGANTAR EPIDEMIOLOGI , bagian 4 : CABANG EPIDEMIOLOGI

CABANG EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi dalam bentuk premordial telah dikenal sejak 20 abad yang lalu ketika Hippocrates mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit dalam tulisannya “On Airs, Waters, and Places”. Tetapi baru pada abad kesembilanbelas distribusi penyakit pada kelompok-kelompok manusia dianalisis secara kuantitatif. Abad kesembilanbelas ditandai tidak hanya dimulainya formalitas epidemiologi sebagai sains, tetapi juga awal dari sejumlah pencapaian spektakuler riset epidemiologi. Sejak investigasi outbreak kolera yang dilakukan John Snow pada 1854, berbagai studi epidemiologi telah dilakukan untuk meneliti hubungan antara proses fisik, kimia, biologi, sosial, dan politik, dengan peningkatan terjadinya penyakit.

Epidemiologi dalam bentuk modern merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, dimulai
pada awal abad keduapuluh. Aneka metode analisis data kuantitatif dikembangkan untuk
mempelajari kejadian penyakit kronis non-infeksi yang cenderung meningkat di negara-negara
Barat. Contoh, Doll dan Peto (1978) melaporkan salah satu hasil studi kohor The British Doctor
Study yang dimulai tahun 1950an. Doll dan Peto memeragakan hubungan dosis-respons antara
jumlah sigaret tembakau yang diisap dan insidensi Ca paru (Ca bronkhus) per 105 orang-tahun
(Gambar 11).



Sesuai dengan kriteria kausasi Hill, hubungan dosis-respons yang ditunjukkan dalam
studi kohor itu memperkuat keyakinan bahwa hubungan antara merokok tembakau dan Ca
paru merupakan hubungan kausal. Hubungan dosis-respons tersebut sekaligus menjelaskan
mengapa Ca bronkhus lebih banyak terjadi di bagian atas daripada bagian bawah bronkhus
(Doll dan Peto, 1978). Sejak “The British Doctor Study” mempublikasikan hasil-hasil riset untuk
pertama kali, banyak studi kohor dan studi kasus-kontrol dilakukan untuk meneliti peran
etiologis dari faktor-faktor gaya hidup, faktor okupasi, virus, dan diet, terhadap risiko
terjadinya penyakit kronis, misalnya kanker.

Umumnya analisis yang digunakan epidemiologi klasik John Snow dalam meneliti
epidemiologi penyakit infeksi, maupun yang digunakan epidemiologi modern The Framingham
Study (AS) dan The British Doctor Study (Inggris) dalam meneliti penyakit kronis non-infeksi,
masih menggunakan pendekatan epidemiologi “Black box”, tanpa perlu mengetahui isi dari
kotak hitam. Kini epidemiologi telah berkembang pesat menjadi berbagai cabang, antara lain
epidemiologi molekuler yang memperluas metode analisis epidemiologi konvensional dengan
mengukur isi kotak hitam, yakni patogenesis penyakit yang terjadi dalam kontinum paparanpenyakit.
Beberapa di antara aneka cabang epidemiologi dibahas sebagai berikut.

Epidemiologi Molekuler. 
Epidemiologi molekuler merupakan cabang epidemiologi yang mempelajari kontribusi faktor risiko genetik dan lingkungan yang diidentifikasi pada level molekul dan biokimia terhadap etiologi, distribusi, dan pengendalian penyakit pada keluarga dan populasi (Mathema et al., 2006; Wikipedia, 2011a). Kata epidemiologi molekuler digunakan pertama kali oleh Kilbourne pada 1973 dalam artikel "The molecular epidemiology of influenza". Disiplin epidemiologi molekuler makin dikenal luas dengan terbitnya buku teks "Molecular Epidemiology: Principles and Practice" yang ditulis Schulte dan Perera (Wikipedia, 2011a). Buku itu menjelaskan peran vital pengukuran dan pemanfaatan biologic marker (biomarker) di tingkat molekul dan gen untuk memahami mekanisme yang melatari terjadinya penyakit pada populasi, dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk mengendalikan penyakit.

Epidemiologi molekuler bersifat multidisipliner, mengintegrasikan biologi molekuler, kedokteran klinis, biostatistika, dan epidemiologi. Epidemiologi molekuler memadukan metode epidemiologi konvensional dengan kemajuan-kemajuan di bidang riset biologi seluler, molekuler, dan riset genetika, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang riwayat alamiah penyakit, mekanisme yang melatari terjadinya suatu penyakit pada populasi, mengembangkan teori-teori baru tentang kausasi penyakit, dengan memberikan perhatian kepada interaksi yang kompleks dalam proses terjadinya penyakit (Foxman dan Riley, 2001; Kufe et al., 2003; Dorman, 2011). Jika metode epidemiologi tradisional (klasik) sering menggunakan pendekatan “Black box”, yaitu mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit tanpa perlu mengetahui secara mendalam patogensis penyakit tersebut, maka metode epidemiologi molekuler meningkatkan pemahaman tentang patogenesis penyakit dengan cara mengidentifikasi mekanisme, molekul, dan gen, yang terjadi di dalam “Black box”, yang mempengaruhi terjadinya penyakit (Spitz dan Bondy, 2010; Dorman, 2011) (Gambar 12).


 Riset epidemiologi molekuler berguna untuk meningkatkan bukti kausasi dengan cara memberikan penjelasan biologis yang masuk di akal (biological plausbility) dan koherensi hasil riset lintas disiplin tentang hubungan paparan-penyakit, sesuai dengan kriteria kausasi Hill (Spitz dan Bondy, 2010).

Salah satu teknologi kunci dari biologi molekuler yang dimanfaatkan dalam riset epidemiologi adalah identifikasi dan pengukuran biomarker. Biomarkers merupakan substansi biologis, kimiawi, atau fisik, yang bisa dideteksi dan diukur pada berbagai bagian tubuh, misalnya darah dan jaringan. Biomarker dapat menunjukkan proses yang normal maupun patologis yang terjadi di dalam tubuh. Biomarker dapat berbentuk sel tertentu, molekul, gen, produk gen, enzim, atau hormon. Biomarker bisa digunakan untuk tujuan diagnostik (tropinin jantung untuk diagnosis infark otot jantung), proses penyakit (C-reactive protein/ untuk inflamasi), derajat penyakit (misalnya, brain nutriuretic peptide/ BNP untuk kegagalan jantung kongestif), prognosis penyakit (biomarker kanker), dan biomarker untuk memonitor respons klinis intervensi (misalnya, HbA1c untuk terapi antidiabetik). Informasi yang diperoleh dari biomarker dapat digunakan untuk memprediksi perkembangan penyakit, mengimplementasikan program pencegahan penyakit, dan memonitor respons klinis intervensi (Bonassi dan Au, 2002). Jadi identifikasi dan pengukuran biomarker berguna untuk membantu memecahkan masalah-masalah epidemiologis dan kedokteran, dengan cara membantu diagnosis dini, pencegahan penyakit, identifikasi sasaran terapi, memonitor respons terapi, dan sebagainya. Epidemiologi molekuler telah diterapkan pada berbagai bidang, antara lain epidemiologi kanker, epidemiologi penyakit infeksi, dan epidemiologi lingkungan (Vineis dan Perera, 2007; Dorman, 2011).

Sebagai contoh, Ikeda et al. (2011) melakukan studi kohor selama 3 tahun untuk menguji apakah biomarker ADAMTS13 plasma pada pasien hepatitis B dan C kronis bisa digunakan untuk memprediksi terjadinya karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma, HCC). Peneliti mengevaluasi ADAMTS13 plasma sebagai biomarker potensial sel bintang hepar (hepatic stellate cells) pada pasien hepatitis B dan C kronis, dengan dan tanpa HCC. Singkat kata, Ikeda et al. (2011) menyimpulkan, aktivitas ADAMTS13 plasma yang tinggi merupakan risiko untuk terjadinya HCC pada pasien dengan penyakit hati kronis. Implikasi klinis studi tersebut, ADAMTS13 plasma sebagai biomarker potensial untuk sel bintang hepar berguna untuk memprediksi hepatokarsinogenesis.


Epidemiologi Genetik. Berhubungan erat dengan epidemiologi molekuler adalah epidemiologi genetik. Morton (1982) dikutip Wikipedia (2011c) mendefinisikan epidemiologi genetik "a science which deals with the etiology, distribution, and control of disease in groups of relatives and with inherited causes of disease in populations". Epidemiologi genetik merupakan cabang epidemiologi yang mempelajari peran faktor-faktor genetik dan interaksinya dengan faktor lingkungan dalam mempengaruhi terjadinya penyakit dan pewarisan (inheritance) penyakit pada kelompok-kelompok dan populasi.

Mengapa mempelajari faktor genetik terhadap terjadinya penyakit? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diketahui bahwa gen adalah segmen dari DNA (suatu asam nukleat, yaitu deoxyribonucleic acid) yang membawa informasi genetik yang memberikan instruksi untuk perkembangan dan fungsi semua organisme hidup. Variasi dalam sekuensi (urutan) DNA pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya penyakit pada manusia dan respons manusia terhadap patogen, bahan kimia, obat, vaksin, dan agen lainnya (Wikipedia, 2011c).

Hampir semua penyakit pada manusia memiliki komponen genetik. Pola komponen genetik bervariasi, mulai dari hubungan kausal sederhana di mana sebuah mutasi diperlukan (necessary) dan cukup (sufficient) untuk menimbulkan penyakit (disebut Mendelian traits) hingga karakteristik genetik kompleks di mana aneka faktor, baik genetik maupun lingkungan, memberikan kontribusi terhadap kerentanan individu/ keluarga/ populasi untuk mengalami penyakit (Yale University, 2011; Wikipedia, 2011c).

Sebagai contoh, Gambar 13 menyajikan fase epidemiologi molekuler dalam penelitian interaksi gen-lingkungan yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker. Manusia umumnya terpapar oleh faktor lingkungan berupa campuran kimia kompleks (misalnya, asap rokok, polusi udara, polusi di tempat kerja, bahan makanan, pestisida). Campuran kimia kompleks tersebut bisa mengandung bahan karsinogenik (berpotensi menyebabkan kanker), sehingga disebut karsinogen, masuk ke dalam tubuh dan mengalami metabolisme (Perera dan Weinstein, 2000; Kufe et al., 2003).

Jika campuran kimia kompleks karsinogenik tersebut mengikat bagian DNA (disebut DNA adduct), maka ikatan itu disebut aduksi DNA-karsinogen, merupakan awal dari sel kanker. Warisan kerentanan pada penjamu (misalnya, CYP1A1, CYP2E1, GSTM1, mikronutrien A/C/E, etnisitas, ras, gender, umur) dapat memodulasi faktor lingkungan, terjadi interaksi antara penjamu dan faktor lingkungan, yang mempengaruhi metabolisme karsinogen. Di samping itu warisan kerentanan dapat mereparasi kerusakan DNA dengan mengurangi atau menyingkirkan seluruh beban kerusakan. Sebaliknya warisan kerentanan bisa mempengaruhi terjadinya instabilitas genomik dan menyebabkan efek preklinik berupa perubahan genetik (mutasi gen), aberasi kromosom, aktivasi onkogen, dan inaktivasi gen supresor tumor (Perera dan Weinstein, 2000; Kufe et al., 2003).

Dosis internal dan dosis molekuler paparan faktor lingkungan (yakni, campuran kimia kompleks karsinogenik) mempengaruhi terjadinya aduksi DNA-karsinogen dan efek preklinik (mutasi gen, dan sebagainya). Dewasa ini dosimetri internal paling banyak dilakukan untuk mengukur paparan karsinogen dan bahan toksik lainnya, terutama di tempat kerja. Biomarker dosis internal memiliki presisi, reliabilitas, dan relevansi yang tinggi dengan risiko individu, sehingga banyak digunakan bersama dengan pendekatan tradisional epidemiologi dalam mengukur paparan, misalnya pengukuran konsentrasi agen di ruangan tempat kerja, pengukuran dengan kuesioner tentang riwayat merokok, konsumsi makanan, dan paparan lingkungan lainnya. Immmunoassay yang sangat sensitif yang tersedia dewasa ini dapat mengukur paparan kimia karsinogenik atau metabolitnya dalam konsentrasi sangat rendah pada berbagai sel, jaringan, atau cairan tubuh. Contoh, kadar kotinin dalam serum atau urine sebagai hasil dari paparan asap rokok, aflatokin B1 (AFB1) dalam urine yang mencerminkan paparan faktor makanan (Perera dan Weinstein, 2000).

Kelebihan biomarker dosis internal, biomarker ini mencerminkan perbedaan absorpsi, metabolisme, bioakumulasi, dan ekskresi paparan agen antar individu. Kekurangannya, rentang waktu-paroh (half-lives) biomarker dosis internal individu sangat lebar, mulai dari beberapa jam hingga beberapa dekade, sehingga interpretasi hasil dan penerapannya harus menyesuaikan waktu paroh tersebut. Kekurangan lainnya, dosimetri internal tidak menunjukkan seberapa besar suatu paparan agen telah bereaksi dengan sel atau gen sasaran (Perera dan Weinstein, 2000).

Dosis paparan di tingkat molekul yang telah bereaksi dengan makromolekul seluler penting (yaitu, aduksi DNA-karsinogen) disebut “biologically effective dose”. Dewasa ini tengah dikembangkan prosedur analisis (assay) untuk mengukur aduksi DNA-karsinogen sebagai biomarker molekuler. Pengukuran ini penting karena ikatan aduksi DNA-karsinogen inilah yang menginduksi mutasi pada gen-gen penting. Kelebihannya, hasil pengukuran aduksi DNA-karsinogen tidak hanya mencerminkan perbedaan individual absorpsi dan distribusi tetapi juga perbedaan metabolisme (aktivasi versus detoksifikasi) karsinogen, serta besarnya reparasi aduksi DNA-karsinogen yang telah berlangsung pasca paparan karsinogen (Perera dan Weinstein, 2000).

Kekurangannya, DNA dari jaringan sasaran tidak mudah diakses, sehingga sebagai gantinya digunakan sel-sel atau jaringan perantara (misalnya, sel darah tepi, sel bukalis, atau plasenta). Kekurangan lainnya, level aduksi DNA-karsinogen lebih mencerminkan reparasi DNA dan pembaruan jaringan yang berlangsung beberapa bulan terakhir daripada paparan yang terjadi lebih lama (Perera dan Weinstein, 2000).

Dewasa ini telah diidentifikasi banyak biomarker molekuler yang dapat digunakan untuk mengukur paparan dan menilai dini efek biologi dan molekuler yang merugikan suatu kelompok atau populasi. Tetapi manfaat sebagian besar biomarker molekuler belum divalidasi melalui riset, sehingga belum bisa digunakan secara rutin dalam skrining, diagnosis, dan prediksi kuantitatif risiko mengalami penyakit (Perera dan Weinstein, 2000).

Sebagai contoh, Lin et al. (2011) melakukan studi kohor berbasis populasi untuk menguji apakah variasi di dalam sejumlah gen tertentu dalam mekanisme biologis terjadinya progresi kanker prostat bisa digunakan untuk membedakan pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami kematian karena kanker prostat. Peneliti melakukan penjenisan gen (genotyping) terhadap 937 single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada 156 gen pada kohor berbasis populasi yang terdiri atas 1,309 pasien kanker prostat. Lin et al. (2011) menyimpulkan, varian genetik yang terdapat pada gen-gen LEPR, CRY1, RNASEL, IL4, dan ARVCF merupakan biomarker yang memiliki hubungan yang secara statistik signifikan dengan kematian spesifik kanker prostat. Pasien dengan 4 hingga 5 genotipe berisiko memiliki risiko untuk mengalami kematian spesifik kanker prostat 1.5 kali lebih besar daripada pasien dengan 0 hingga 2 genotipe berisiko (RR=1.5; CI95% 1.2 hingga 1.9). Risiko tersebut meningkat dengan jumlah genotipe berisiko (Ptrend = 0.001).

Faktor genetik dan usia jelas penting dalam mempengaruhi kerentanan individu terhadap karsinogen. Dalam beberapa bentuk kanker yang jarang, faktor keturunan (warisan) bahkan memainkan peran yang sangat menentukan. Tetapi terjadinya kanker pada manusia bukan melulu akibat dari proses yang tidak bisa dihindari. Peran faktor eksternal (lingkungan) memberikan peluang yang terbesar untuk upaya pencegahan primer. Riset epidemiologi molekuler/ genetik berguna untuk menemukan instrumen yang kuat untuk melakukan pencegahan primer, yaitu suatu sistem peringatan dini (early warning system) yang bisa mengidentifikasi karsinogen lingkungan, yang dapat menunjukkan risiko sebelum terjadi proses malignansi (Perera dan Weinstein, 2000).

Epidemiologi Kanker. Epidemiologi kanker merupakan cabang epidemiologi yang bertujuan mempelajari distribusi dan kausa kanker, mengembangkan terapi kanker yang lebih efektif untuk mengendalikan masalah kanker pada populasi.

Hasil riset epidemiologi menunjukkan, lebih dari sepertiga kematian karena kanker di seluruh dunia disebabkan oleh faktor risiko yang bisa diubah (modifiable risk factors), meliputi: (1) Merokok tembakau; (2) Minuman beralkohol; (3) Diet rendah buah dan sayur; (4) Kurang aktivitas fisik; (5) Obesitas; (6) Transmisi seksual HPV. Merokok tembakau berhubungan kuat dengan kanker paru, mulut, dan nasofaring. Minuman beralkohol berhubungan dengan kanker mulut, esofagus, payudara, dan kanker lainnya. Diet rendah buah dan sayur meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Kurang aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko kanker kolon, payudara, dan beberapa kanker lainnya. Obesitas berhubungan dengan kanker kolon, payudara, endometrium, adenokarsinoma esofagus, dan kanker lainnya. Transmisi seksual human papillomavirus (HPV) menyebabkan kanker serviks dan kanker anus (Wikipedia, 2011d; Ryan et al., 2011).

Di samping itu terdapat sejumlah paparan lingkungan lainnya dan gaya hidup yang merupakan faktor risiko kanker. Penggunaan hormon replacement therapy menyebabkan kanker payudara. Paparan asbestos dan merokok tembakau di tempat kerja meningkatkan risiko kanker paru dan mesotelioma. Paparan benzena di tempat kerja meningkatkan risiko leukemia (Wikipedia, 2011d).

REFERENSI

AARC (2011). What is molecular epidemiology? aacr.org. Diakses Agustus 2011.
Americal Cancer Society (2009). Stay healthy. http://www.cancer.org/Healthy/ InformationforHealthCareProfessionals/cancer_statistic_2009_slides_rev.ppt. Diakses Agustus 2011.
Benjamins MR, Hummer RA, Eberstein IW, et al 2004. Self-reported health and adult mortality risk: an analysis of cause-specific mortality. Soc Sci Med; 59:1297–306.
Bodelon C, Doherty JA, Chen C, Rossing MA, Weiss NS (2009). Use of nonsteroidal antiinflammatory drugs and risk of endometrial cancer. Am J Epidemiol;170:1512–1517.
Bonassi S, Au WW (2002). Biomarkers in molecular epidemiology studies for health risk prediction. Mutat Res. 511(1):73-86.
Buck C, Llopis A, Nájera E, Terris M (1998). The Challenge of Epidemiology: Issues and Selected Readings. Scientific Publication No. 505. Pan American Health Organization. Washington, DC

Burstrom B, Fredlund P (2001). Self rated health: Is it a good predictor of subsequent mortality among adults in lower as well in higher social classes? J Epidemiol Community Health; 55:836–40.
Danesh J, Whincup P, Walker M, Lennon L, Thomson A, Appleby P, Gallimore JR, Pepys MB (2000). Low grade inflammation and coronary heart disease: prospective study and updated meta-analyses. Br. Med. J. 321: 199–204.
Dictionary.com (2011). Study. http://dictionary.reference.com/browse/study. Diakses Agustus 2011.
Doll R, Peto R (1978). Cigarette smoking and bronchialcarcinoma: dose and time relationships among regular smokersand lifelong non-smokers. J Epidemiol Community Health. 32: 303-313
Dorman J (2011). Introduction to molecular epidemiology. University of Pittsburgh School of Nursing. www.pitt.edu/~super4/33011-34001/33891.ppt
Everson SA, Goldberg DE, Kaplan GA (1996). Hopelessness and risk of mortality and incidence of myocardial infarction and cancer. Psychosom Med; 58:113–21.
Ford ES, Smith SJ, Stroup DF, Steinberg KK, Mueller PW, Thacker SB (2002). Homocyst(e)ine and cardiovascular disease: a systematic review of the evidence with special emphasis on case-control studies and nested case-control studies. Int. J. Epidemiol. 31: 59–70.
Foxman B, Riley L (2001). Molecular epidemiology: Focus on infection. Am J Epidemiol 2001;153: 1135–41.
Goldie SJ, Gaffikin L, Goldhaber-Fiebert JD, Gordillo-Tobar A, Levin C, Mahe C, WrightTC (2005). Cost-effectiveness of cervical-cancer screening in five developing countries. N Engl J Med 2005;353:2158-68.
Hughes T (2011). Neural tube defects. Word Constructions. http://www.wordconstructions. com/articles/health/ntds.html. Diakses Agustus 2011.
Idler EL, Benyamini Y (1997). Self-rated health and mortality: a review of twentyseven community studies. J Epidemiol Community Health; 38:21–37.
Ikeda H, Tateishi R, Enooku K, Yoshida H, Nakagawa H, Masuzaki R, Kondo Y, et al.(2011). Prediction of hepatocellular carcinoma development by plasma ADAMTS13 in chronic hepatitis B and C. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention. Published OnlineFirst August 29, 2011; doi: 10.1158/1055-9965.EPI-11-046
Kawai V, Soto G, Gilman RH, Bautista CT, Caviedes L, Huarato L, Ticona E, Ortiz J, Tovar M, Chavez V, Rodriguez R, Escombe R, Evans CA (2006). Tuberculosis mortality, drug resistance, and Infectiousness in patients with and without HIV infection in Peru. Am. J. Trop. Med. Hyg., 75(6): 1027–1033
Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, et al. (2003). Implications for molecular epidemiology, risk assessment, and cancer prevention. Hamilton (ON): BC Decker.
Larsson D, Hemmingsson T, Allebeck P, et al. Self-rated health and mortality among young men: what is the relation and how may it be explained? Scand J Public Health; 30:259–66.
Last JM (2001). A dictionary of epidemiology. Edisi ke4. New York: Oxford University Press.
Lin DW, FitzGerald LM, Fu R, Kwon EM, Zheng SL, Kolb S, Wiklund F et al. (2011). Genetic variants in the LEPR, CRY1,RNASEL, IL4, and ARVCF Genes are prognostic markers of prostate cancer-specific mortality. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 20(9): 1–9
Macintyre S (1994). Understanding the social patterning of health: the role of the social sciences. Journal of Public Health Medicine.16 (1): 53-59
Mossey JM, Shapiro E (1982). Self-rated health: a predictor of mortality among the elderly. Am J Public Health; 72:800–8.
Mathema B, Kurepina NE, Bifani PJ, Kreiswirthi BN (2006). Molecular epidemiology of tuberculosis: Current insights. Clinical Microbiology Reviews. 19(4): 658–685

Mausner JS, Kramer S (1985). Mausner & Bahn epidemiology: An introductory text. Philadelphia: WB Saunders Company.
Morrison AC, Bare LA, Chambless LE, Ellis SG, Malloy M, Kane JP, Pankow JS, Devlin JJ, Willerson JT, Boerwinkle E (2007). Prediction of coronary heart disease risk using a genetic risk score: The Atherosclerosis Risk in Communities Study. Am J Epidemiol; 166:28–35
Pearce N (1999). Epidemiology as a population science. Int. J. Epidemiol, 28: 1015-18
Ryan AM, Duong M, Healy L, Ryan SA, Parekh N, Reynolds JV, Power DG (2011). Obesity, metabolic syndrome and esophageal adenocarcinoma: Epidemiology, etiology and new targets. Cancer Epidemiology. 35 (4): 309-319
Sherris J,Wittet S,Kleine A, Sellors J, Luciani S, Sankaranarayanan R, Barone MA (2009). Evidence-based, alternative cervical cancer screening approaches in low-resource settings. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health. 35 (3): 147-152
Shpilberg O, Dorman JS, Ferrell RE, Trucco M, Shahar A, Kuller LH (1997). The next stage: Molecular epidemiology. Journal of Clinical Epidemiology, 50(6): 633-638
Spitz MR, Bondy ML (2010). The evolving discipline of molecular epidemiology of cancer Carcinogenesis. 31 (1): 127–134
Strevens M (2011). Scientific explanation. http://www.strevens.org/research/simplexuality/ Expln.pdf. Diakses Agustus 2011.
Susser M, Ezra Susser (1996). Choosing a future for epidemiology: II. From black box to Chinese boxes and eco-epidemiology. Am J Public Health, 86: 674-677.
Tuskegee University (2011). Epidemiologi. Chapter 2: The epidemiologic systems approach Tusekgee University College of Veterinary Medicine Nursing & Allied Health. http:// www. onemedicine.tuskegee.edu/Epidemiology/sys_approach.htm. Diakses Agustus 2011.
University of Pittsburg (1998). What is molecular epidemiology? Molecular Epidemiology Homepage. University of Pittsburgh. 28 July 1998. Diakses Agustus 2011.
Vineis P, Perera F (2007). Molecular epidemiology and biomarkers in etiologic cancer research: The new in light of the old (Cancer Epidemiol BiomarkersPrev. 16(10):1954–65
Weitoft GR, Rosen M (2005). Is perceived nervousness and anxiety a predictor of premature mortality and severe morbidity? A longitudinal follow up of the Swedish survey of living conditions. J Epidemiol Community Health. 59794–798.798.
Whitrow MJ, Moore VM, Rumbold AR, Davies MJ (2009). Effect of supplemental folic acid in pregnancy on childhood asthma: A prospective birth cohort study. Am J Epidemiol;170:1486–1493
WHO (2002). Cervical cancer screening in developing countries: Report of WHO consultation. Geneva, Switzerland: World Health Organization
Wikipedia (2011a). Molecular epidemiology. en.wikipedia.org/wiki/Molecular_ epidemiology. Diakses Agustus 2011.
Wikipedia (2011b). DNA adduct. http://en.wikipedia.org/wiki/DNA_adduct. Diakses September 2011.
Wikipedia (2011d). Epidemiology of cancer. http://en.wikipedia.org/wiki/Epidemiology_of_ cancer. Diakses 2 September 2011.
Yale University (2011). Medical genomics. Yale University Center for Genomics & Proteomics. http://cgp.yale.edu/medical/index.html. Diakses September 2011.


tulisan ini (Pengantar Epidemiologi) merupakan tulisan dari :
 Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD