Rabu, 15 November 2017

PENGANTAR EPIDEMIOLOGI , bagian 2 : TUJUAN EPIDEMIOLOGI

TUJUAN EPIDEMIOLOGI
Tujuan dan kegunaan epidemiologi sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan distribusi penyakit pada populasi
Epidemiologi mempelajari kelompok mana (person), di mana (place), dan kapan (time) dari populasi yang terkena penyakit. Epidemiologi mendeskripsikan siapa yang merupakan kasus, dimana mereka berada, berapa umur mereka, karakteristik umum apa yang dimiliki oleh kelompok tersebut, serta dugaan awal mengapa kasus-kasus muncul demikian banyak di suatu area tertentu tetapi tidak demikian di area lain. Epidemiologi mendeskripsikan pola kolektif penyakit yang terbentuk oleh kumpulan kasus-kasus tersebut, mendeteksi kecenderungan (trends) insidensi penyakit, merunut perubahan karakter penyakit, mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi, dan menaksir besarnya beban penyakit.

Epidemiologi deskriptif memberikan dua kegunaan. Pertama, pengetahuan tentang distribusi penyakit pada populasi berguna untuk membuat perencanaan kesehatan dan evaluasi program kesehatan. Kedua, hasil studi epidemiologi deskriptif berguna untuk merumuskan hipotesis tentang hubungan paparan-penyakit, yang akan diuji lebih lanjut dengan studi epidemiologi analitik (Hennekens dan Buring, 1987).

Contoh: Gambar 5 mendeskripsikan konsumsi tembakau per kapita dan angka kematian karena kanker paru di AS pada laki-laki dan perempuan 1900 hingga 2005, yang disesuaikan menurut umur. Gambar tersebut merupakan contoh epidemiologi deskriptif. Data ekologis (data agregat) tentang konsumsi tembakau di level negara dengan jelas memeragakan terjadinya peningkatan konsumsi tembakau pada laki-laki sejak 1900, mencapai puncaknya hampir 4500 sigaret per kapita pada 1960, kemudian menurun sampai 2005. Dengan pola yang serupa, selang waktu 30 tahun kemudian, sejak 1930 terdapat peningkatan angka kematian karena kanker paru, mencapai puncaknya sebesar 90 kematian/ 100,000 penduduk pada 2005, lalu menurun hingga 2005.



Deskripsi data agregat epidemiologis tersebut berguna untuk dua keperluan. Pertama, angka kematian pada masing-masing tahun menunjukkan besarnya beban penyakit (disease burden) kanker paru yang harus “ditanggung” oleh sistem kesehatan, sehingga informasi itu berguna untuk perencanaan alokasi sumber daya kesehatan. Kedua, data studi ekologis tersebut berguna untuk merumuskan hipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara konsumsi sigaret tembakau dan angka kematian karena kanker paru, yang perlu diteliti lebih lanjut dengan desain studi epidemiologi analitik.


2. Mengetahui riwayat alamiah penyakit (natural history of disease)
Riwayat alamiah penyakit adalah deskripsi tentang perkembangan alami (natural) penyakit yang terjadi sepanjang waktu pada individu. Riwayat alamiah penyakit mencakup semua fenomena yang terkait penyakit, meliputi tahap rentan (susceptible), tahap subklinis, tahap klinis, dan tahap kesembuhan/ kecacatan/ kematian (Gambar 6). Pada tahap rentan individu belum terpapar oleh agen kausal (etiologi) penyakit. Pada tahap rentan perlu dilakukan upaya pencegahan primer, yaitu melakukan promosi kesehatan (pendidikan kesehatan, dan sebagainya) dan proteksi spesifik (imunisasi, dan sebagainya). Tujuan pencegahan primer adalah untuk mengurangi kejadian penyakit baru.



Pada tahap subklinis individu telah terpapar oleh agen kausa penyakit, terjadi proses perubahan patologis di dalam tubuh, tetapi belum tampak gejala dan tanda klinis. Pada tahap ini mula-mula terjadi proses induksi di mana agen kausal/ patogen yang masuk di dalam tubuh didorong untuk menyebabkan perubahan patologis pada jaringan. Selanjutnya terjadi proses promosi di mana perubahan patologis ditingkatkan (“dipromosikan”) menjadi ireversible dan dimanifestasikan ke dalam gejala dan tanda klinis. Tahap subklinis sudah dikenal oleh Jacob Henle lebih dari satu-setengah abad yang lalu. Henle menulis (dikutip Gertsman, 1998), “..the symptoms of disease do not appear directly after the entry of contagious agent but rather after a certain period, which varies in the different contagions”. Pada penyakit infeksi, waktu yang dibutuhkan sejak paparan/ infeksi oleh agen kausal hingga dimulainya gejala dan tanda klinis disebut masa inkubasi. Pada penyakit non-infeksi, waktu itu disebut masa laten. Pada epidemiologi penyakit infeksi, tahap subklinis memiliki peran dalam transmisi penyakit, sebab untuk beberapa penyakit tertentu (misalnya, HIV/ AIDS), kemampuan individu yang terinfeksi untuk bisa menularkan agen infeksi ke anggota populasi lainnya yang rentan sudah dimulai pada tahap subklinis. Pada tahap subklinis perlu dilakukan upaya pencegahan sekunder, yaitu melakukan deteksi dini (skrining) dan pengobatan segera. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengurangi durasi dan tingkat keparahan penyakit

Pada tahap penyakit klinis individu mulai menunjukkan gejala dan tanda klinis hingga terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti kesembuhan, kecacatan, atau kematian. Pada tahap penyakit klinis terjadi proses ekspresi, yaitu gangguan fisiologis dan proses patologi diekspresikan dalam gejala dan tanda klinis. Pada beberapa penyakit gejala dan tanda klinis tersebut bisa berangsur menghilang tanpa pengobatan, disebut “self-limiting disease”. Pada tahap penyakit klinis perlu dilakukan upaya pencegahan tersier, yaitu melakukan limitasi kecacatan, rehabilitasi, dan bantuan fungsi lainnya.

Untuk sebagian besar penyakit, jika individu dengan penyakit klinis tidak diberi pengobatan yang tepat, maka individu akan masuk ke dalam tahap akhir penyakit, di mana proses patologis klinis akan diekspresikan ke dalam manifestasi yang lebih berat, berupa kronisitas, komplikasi, kecacatan, sekulae, rekurensi, atau kematian. Waktu sejak timbulnya gejala klinis sampai terjadinya akibat-akibat penyakit disebut durasi.

Riwayat alamiah penyakit merupakan sebuah elemen penting epidemiologi deskriptif. Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit sama pentingnya dengan pengetahuan tentang kausa penyakit dalam upaya pengendalian dan pencegahan penyakit (Bophal, 2002).


3. Menentukan determinan penyakit
Epidemiologi analitik bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor, baik fisik, biologis, sosial, kultural, dan perilaku, yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit, disebut determinan penyakit. Determinan penyakit meliputi faktor risiko dan kausa (etiologi) penyakit. Hasil studi epidemiologi analitik memberikan basis rasional untuk melakukan program pencegahan. Jika faktor etiologi (kausa) penyakit dan cara mengurangi atau mengeliminasi faktor-faktor itu diketahui, maka dapat dibuat program pencegahan dan pengendalian penyakit dan kematian karena penyakit tersebut.
Contoh 1: Beberapa hasil riset epidemiologi akhir-akhir ini menunjukkan, peningkatan konsentrasi C-reactive protein (CRP) dan homosistein total plasma (Hcy) merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. CRP merupakan satu reaktan fase akut yang disekresi oleh hati sebagai respons terhadap sitokin inflamasi. CRP plasma diketahui merupakan prediktor penyakit kardiovaskuler yang lebih kuat daripada kolesterol LDL. Hasil meta-analisis menunjukkan, individu-individu yang terletak pada sepertiga atas konsentrasi CRP plasma (>2.4 mg/L) memiliki risiko untuk mengalami penyakit jantung koroner (PJK) dua kali lebih besar daripada individu-individu yang terletak pada sepertiga bawah konsentrasi CRP plasma (<1.0 mg/L). Homosistein merupakan asam amino yang mengandung sulfur yang tidak digunakan untuk mensintesis protein. Dua meta-analisis baru-baru ini memeragakan, setiap peningkatan Hcy sebanyak 5μmol/L meningkatkan risiko untuk PJK sebesar 20% (Gao et al., 2004).

Hasil sejumlah studi menunjukkan, konsumsi buah dan sayur yang tinggi dapat memproteksi terhadap PJK. Contoh, hasil-hasil Framingham Heart Study menunjukkan, rasio risiko untuk mengalami stroke setelah disesuaikan menurut umur adalah 0.78 untuk setiap asupan 3 porsi buah dan sayur per hari. Nurses’ Health Study dan Health Professionals’ Follow-Up Study juga menemukan efek protektif dari buah dan sayur terhadap {JK. Salah satu mekanismenya, diduga buah dan sayur menurunkan Hcy plasma. Baru sedikit studi yang meneliti hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan marker inflamasi tersebut (Gao et al., 2004).

Dengan latar belakang tersebut, sebuah studi potong-lintang (cross-sectional) dilakukan untuk meneliti hubungan antara asupan buah dan sayur dengan CRP plasma dan konsentrasi Hcy (Gao et al., 2004). Subjek penelitian terdiri atas 445 orang usia lanjut Hispanik (berasal dari Amerika Latin) dan 154 tetangga Kulit Putih usia lanjut non-Hispanik, yang tinggal di Massachusetts. Diet dinilai dengan Food Frequency Questionnaire (FFQ) yang dirancang untuk populasi ini.
Hasil studi menunjukkan terdapat hubungan dosis-respons yang terbalik dan secara statistik signfikan antara asupan buah dan sayur dengan plasma CRP (p trend = 0.010) dan konsentrasi Hcy (p trend = 0.033), setelah mengontrol sejumlah faktor perancu potensial (Gambar ). Prevalensi CRP plasma tinggi (> 10 mg/L pada perempuan dan 11.4>mol/L pada laki-laki) lebih tinggi pada subjek yang terletak pada kuartil terendah konsumen buah dan sayur (17.9%) daripada subjek yang terletak pada kuartil tertinggi (9.1%. Demikian pula prevalensi Hcy plasma tinggi (> 10.4 mol/L pada perempuan dan 11.4>mol/L pada laki-laki)
lebih tinggi pada subjek yang terletak pada kuartil terendah konsumen buah dan sayur (58.7%)
daripada subjek yang terletak pada kuartil tertinggi (44.4%).

Gambar 7 menunjukkan asupan buah dan sayur menurunkan risiko untuk mengalami
konsentrasi tinggi C-Reactive Protein (CRP) dan Homosistein (Hcy). Untuk setiap tambahan
asupan buah dan sayur, Odds Ratio untuk mengalami CRP plasma adalah 0.79 (OR= 0.79;
CI95% 0.65 hingga 0.97) dan Hcy tinggi adalah 0.83 (OR= 0.83; CI95% 0.72 hingga 0.96).



Studi Gao et al., (2004) menyimpulkan, asupan buah dan sayur yang lebih sering
berhubungan secara statistik signifikan dengan plasma CRP dan konsentrasi Hcy yang lebih
rendah. Karena metobolit ini dikenal sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler, maka
temuan-temuan ini memperkuat bukti dari beberapa studi sebelumnya bahwa asupan buah dan
sayur yang lebih tinggi dapat menurunkan risiko penyakit kardio-vaskuler.


4. Memprediksi kejadian penyakit pada populasi
Pengetahuan tentang risiko penyakit atau prognosis akibat penyakit pada populasi dalam suatu
periode waktu dapat digunakan untuk memprediksi jumlah dan distribusi penyakit atau kematian
pada populasi maupun memprediksi risiko terjadinya penyakit atau kematian pada
individu (epidemiologi klinik) dalam suatu periode waktu di masa mendatang.
Contoh: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyebab utama
kematian. Banyak studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko PJK.
Sebagai contoh, salah satu hasil riset monumental The Framingham Study di AS yang dimulai
sejak 1950 adalah terciptanya suatu skor risiko yang mencakup faktor risiko utama, meliputi
umur, tekanan darah, merokok sigaret, kolesterol total, kolesterol HDL (high density
lipoprotein), dan diabetes melitus, yang bisa digunakan untuk memprediksi risiko PJK.
Belakangan sejumlah studi dilakukan untuk menilai kemampuan faktor risiko baru, seperti Creactive
protein, dalam memprediksi PJK. Sebuah faktor risiko terbaru yang akhir-akhir ini
diteliti perannya dalam memprediksi PJK adalah poliformisme genetik. Kemajuan teknologi
genomik (informasi genetik) memungkinkan dilakukan penjenisan gen (genotype) dan
penilaian aneka poliformisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphisms/ SNP) pada
genome manusia untuk mengidentifikasi gen-gen yang rentan terhadap PJK. Tetapi laporan
hasil riset menunjukkan, kontribusi varian masing-masing gen tunggal terhadap risiko PJK
kecil.

Dengan latar belakang tersebut dipandang perlu untuk meneliti kemampuan poligenik
dalam memprediksi penyakit. Sebuah studi dilakukan untuk meneliti apakah agregasi sejumlah
SNP ke dalam suatu skor, yang disebut skor risiko genetik (genetic risk score/ GRS), plus faktor
risiko tradisional dapat memprediksi PJK dengan lebih baik daripada faktor risiko tradisional
saja (Morrison et al., 2007). Sebuah kohor (n= 1,452) dari The Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) diikuti dari 1986 hingga 2001 (median= 13 tahun) untuk diidentifikasi
terjadinya PJK. Subjek penelitian dilakuan penjenisan gen (genotyping) untuk 116 SNP yang
berhubungan dengan PJK. Agregat SNP tersebut kemudian dimasukkan ke dalam GRS. Sedang
faktor risiko tradisional yang diagregasi dalam studi ini meliputi umur, tekanan darah sistolik,
penggunaan obat antihipertensi, kolesterol total, kolesterol HDL, jenis kelamin, diabetes, dan
status merokok, disebut ARIC Cardiovascular Risk Score (ACRS).
Hasil analisis multivariat dengan Cox proportional hazard model menunjukkan, GRS
berhubungan dengan peningkatan risiko insidensi PJK dan hubungan itu secara statistik
signifikan, pada sampel kulit Hitam (HR= 1.20; CI95% 1.11 sd 1.29) maupun kulit Putih (HR=
1.10; CI95% 1.06 sd 1.14). Artinya individu kulit Hitam dengan GRS positif memiliki risiko
untuk mengalami PJK 1.20 kali lebih besar daripada GRS negatif. Hubungan itu tidak berubah
setelah mengontrol pengaruh ACRS.
Kemampuan GRS dalam memprediksi PJK juga diperagakan dengan menggunakan
receiver operating characteristic curve (ROC) (Gambar 8). ROC merupakan kurva yang
menunjukkan “trade-off” sensitivitas dan spesifitas yang optimal dari sebuah alat diagnostik
untuk digunakan dalam mendiagnosis atau memprediksi suatu penyakit. Makin luas area di
bawah kurva (area under curve/ AUC) dari ROC sebuah alat diagnostik, makin akurat alat
diagnostik itu dalam mendiagnosis atau memprediksi penyakit. Hasil studi menunjukkan, pada
sampel kulit Hitam, ROC berdasarkan ACRS + GRS (AUC= 76.9%) lebih luas daripada ROC
berdasarkan ACRS saja (AUC= 75.8%), dan perbedaan itu secara statistik signfikan (beda AUC=
1.1%; CI% 0.2% hingga 2.4%). Studi itu menyimpulkan, agregasi informasi dari sejumlah SNP
ke dalam sebuah skor risiko genetik dapat memprediksi dengan lebih baik insidensi PJK
daripada informasi tentang faktor risiko tradisional saja.



Satu hal perlu diperhatikan dari studi Morrison et al. (2007). Konsep “secara statistik
signifikan” perlu dibedakan dengan “secara klinis signifikan” (“secara substantif signifikan”).
Hasil studi Morrison et al. (2007) memang menunjukkan signifikansi statistik penambahan
informasi genetik (GRS) dalam meningkatkan kemampuan prediksi PJK dibandingkan dengan
faktor risiko tradisional saja (ACRS). Tetapi dengan peningkatan marginal AUC sesungguhnya
demikian kecil, yakni hanya sebesar 1.1%, maka masuk di akal jika dikatakan bahwa secara
klinis peningkatan kemampuan GRS dalam memprediksi insidensi PJK tidak signifikan.
Contoh 2: Sejak awal 80an telah ditunjukkan oleh banyak riset bahwa status kesehatan
yang dinilai sendiri oleh subjek penelitian (self reported health, SRH) merupakan prediktor
kuat risiko kematian, meskipun setelah mengontrol efek dari faktor risiko demografis, sosial,
dan medis (misalnya, Mossey dan Shapiro, 1982; Idler dan Benyamini, 1997; Burstrom dan Fredlund, 2001, Larsson et al., 2002; Benjamins et al., 2004). SRH merupakan prediktor mortalitas pada usia lanjut (Mossey dan Shapiro, 1982). Terdapat hubungan dosis respons antara perasaan putus asa dan risiko kematian di masa mendatang karena infark otot jantung dan kanker (Everson et al., 1996). SRH yang buruk pada akhir usia remaja berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas sepanjang 27 tahun ke depan, tetapi hubungan itu menghilang ketika dilakukan penyesuaian terhadap faktor-faktor psikologis yang diukur pada awal pengamatan (Larsson et al., 2002).
Dengan latar belakang tersebut Weitoft dan Rosen (2005) melakukan studi di Swedia untuk meneliti hubungan antara persepsi tentang kecemasan dan perasaan tidak aman dengan peningkatan risiko kematian dini dan beratnya morbiditas. Tiga kelompok kohor dipilih secara random dari populasi Swedia berumur 16-74 tahun pada 1980-1981, 1988-1989, dan 1995-1996. Kohor tersebut diikuti ke depan sampai 15 tahun untuk diidentifikasi kematian dan masuk rumahsakit karena berbagai sebab. Kecemasan diukur dari jawaban atas pertanyaan: “Apakah Anda mengalami salah satu dari masalah berikut: kecemasan dan perasaan tidak aman?” Pilihan jawaban sebagai berikut: “Ya, masalah berat”, “Ya, masalah ringan”, dan “Tidak”. Risiko relatif diestimasi dengan menggunakan regresi Poisson, membandingkan subjek penelitian yang mengalami kecemasan dan perasaan tidak aman dengan mereka yang tidak mengalami perasaan itu. Karakteristik awal yang dikendalikan pengaruhnya meliputi umur, pendidikan, merokok, dan penyakit kronis.
Hasil studi menemukan, persepsi tentang kecemasan dan perasaan tidak aman berhubungan erat dengan risiko untuk melakukan bunuh diri dan penyakit-penyakit psikiatri. Subjek yang mengalami kecemasan berat memiliki risiko relatif sebesar 9.2 (RR= 9.2; CI95% 3.0 hingga 28.8) untuk laki-laki dan 3.1 (RR= 3.1; CI95% 1.4 hingga 7.1) untuk perempuan. Peningkatan risiko yang secara statistik signifikan juga ditunjukkan untuk derajat kecemasaan yang lebih ringan. Perasaan negatif itu juga berhubungan dengan risiko kematian di kemudian hari karena semua sebab, masuk rumah sakit, dan PJK. Studi Weitoft dan Rosen (2005) menyimpulkan, kecemasan dan perasaan tidak aman berhubungan dengan status kesehatan buruk.

5. Mengevaluasi efektivitas intervensi preventif maupun terapetik
Epidemiologi analitik berguna untuk mengevaluasi efektivitas manfaat, kerugian (efek yang tidak diinginkan), dan biaya dari intervensi preventif maupun terapetik.
Contoh 1: Panduan kesehatan masyarakat di AS, Inggris, dan Australia menyarankan agar wanita hamil mengkonsumsi suplemen asam folat dengan dosis 400 μg per hari selama trimester pertama kehamilan. Tujuannya untuk mengurangi risiko neural tube defect (NTD) pada anak (Whitrow et al., 2009). Neural tube defects merupakan salah satu cacat lahir yang paling banyak dijumpai, disebabkan oleh gangguan perkembangan tuba saraf (neural tube). Pada empat minggu pertama kehamilan, embrio membentuk dan menutup sebuah tuba saraf. Tuba itu menjadi tulang belakang dan otak bayi yang tengah berkembang. Jika tuba tidak menutup dengan benar, maka bayi mengalami NTD. Terdapat dua bentuk utama NTD – spina bifida dan anesefali. Pada spina bifida, sumsum tulang belakang tidak menutup dengan benar. Anak dengan spina bifida akan lumpuh dan mengalami kesulitan belajar. Pada anesefali, otak bayi tidak berkembang dengan penuh atau tidak berkembang sama sekali. Anak dengan anensefali akan meninggal dalam kehamilan (stillbirth) atau beberapa hari setelah kelahiran (Hughes, 2011).

Tetapi apakah asupan asam folat tidak memberikan kerugian bagi anak? Beberapa hasil studi akhir-akhir ini mengisyaratkan, asupan suplemen asam folat selama kehamilan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pernapasan anak balita. Suplemen asam folat merupakan sumber metil yang bisa mendorong perubahan epigenetik pada protein pengikat DNA yang sensitif terhadap metilasi. Model pada tikus menunjukkan, folat menginduksi perubahan DNA yang akan mempengaruhi ekspresi sitokin jenis 2 T-helper selama perkembangan fetus, sehingga mengubah respons inflamasi dan meningkat-kan risiko terjadinya penyakit alergi jalan pernapasan pada anak (Whitrow et al., 2009).

Dengan latar belakang tersebut Whitrow et al. (2009) melakukan studi terhadap sebuah kohor bayi (n= 557) di Australia. Tujuan studi adalah meneliti efek asupan folat selama kehamilan terhadap asma anak. Hasil studi menemukan, asam folat yang dikonsumsi dalam bentuk suplemen pada akhir kehamilan (30-34 minggu) berhubungan dengan meningkatnya risiko asma anak pada usia 3.5 tahun (RR= 1.26; CI95% 1.08 sd 1.43) dan asma persisten (RR= 1.32; CI95% 1.03 sd 1.69). Besar efek tersebut tidak berubah setelah mengontrol pengaruh faktor perancu potensial (potential confounding factor).
Contoh 2: Teori mengemukakan, simulasi endokrin dapat menyebabkan proliferasi endometrium. Estrogen dari dari luar (eksogen) dan dalam (endogen) dapat menghasilkan peradangan (inflamasi) pada jaringan endometrium, sehingga dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan terhadap risiko terjadinya Ca endometrium. Karena itu dihipotesiskan, penggunaan obat antiinflamasi, seperti aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lainnya (nonsteroid antiinflammatory drugs/ NSAID) mungkin dapat menurunkan risiko Ca endometrium (Bodelon et al., 2009).
Apakah data empiris mendukung hipotesis tersebut? Beberapa studi terdahulu menunjukkan hasil-hasil yang inkonsisten tentang hubungan antara penggunaan aspirin dan penurunan risiko Ca endometrium. Dua buah studi menunjukkan, penggunaan aspirin berhubungan dengan penurunan risiko Ca endometrium pada wanita obes (indeks massa tubuh, BMI ≥30 kg/m2), tetapi berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit itu pada wanita nonobes (BMI <≥30 kg/m2). Sebuah studi lainnya menemukan hubungan antara penggunaan antiinfalamasi dan penurunan risiko Ca endometrium pada wanita obes dan nonobes (Bodelon et al., 2009)
Dengan latar belakang tersebut Bodelon et al. (2009) melakukan studi kasus-kontrol berbasis populasi di bagian Barat negara bagian Washington, AS. Antara 2003 dan 2005, 410 wanita yang didiagnosis Ca endometrium invasif dan 356 kontrol diwawancarai tentang penggunaan aspirin dan NSAID lainnya. Hasil studi menemukan, riwayat penggunaan NSAID tidak berhubungan dengan (penurunan) risiko Ca endometrium (OR= 1.04; CI95% 0.76 sd 1.42). Secara lebih spesifik, penggunaan aspirin juga tidak berhubungan dengan Ca endometrium (OR= 1.06; CI95% 0.73 sd 1.53. Studi tersebut menyimpulkan, penggunaan aspirin atau NSAID lainnya tidak berpengaruh terhadap risiko Ca endometrium pada wanita obes maupun nonobes.

6. Menentukan prognosis dan faktor prognostik penyakit
Epidemiologi analitik tidak hanya mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit. Epidemiologi analitik mempelajari prognosis dan faktor-faktor prognostik, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas terjadinya akibat-akibat penyakit, mencakup relaps, rekurensi, komplikasi, kematian (kelangsungan hidup), maupun kesembuhan.

Pengetahuan tentang faktor prognostik berguna untuk melakukan pencegahan tersier penyakit pada populasi, yaitu menghindari atau mengurangi paparan faktor-faktor prognostik yang meningkatkan risiko terjadinya aneka akibat penyakit yang merugikan.
Contoh: Sebuah studi epidemiologi dilakukan di Peru untuk meneliti efek dari ko-infeksi dengan HIV dan resistensi obat ganda (multi-drug resistance, MDR) terhadap mortalitas (kelangsungan hidup) dan kemampuan pasien untuk menginfeksi pada pasien tuberkulosis yang mendapat terapi tuberkulosis (Kawai et al., 2006). Gambar menyajikan grafik Kaplan-Meier tentang kelangsungan hidup pasien tuberkulosis dengan dan tanpa ko-infeksi HIV, maupun dengan dan tanpa resistensi obat tuberkulosis (MDR), setelah dimulainya terapi tuberkulosis.

Gambar 9 menunjukkan, terdapat 4 kelompok pasien dengan kelangsungan hidup yang berbeda. Pertama, semua pasien tanpa HIV dan obat sensitif (DS) bisa melangsungkan hidupnya sampai 18 bulan atau lebih sejak pemberian terapi. Kedua, sekitar 80% pasien tanpa HIV dengan resistensi obat (MDR) bisa melangsungkan hidup sampai 11 bulan. Ketiga, hanya sekitar 40% pasien dengan komorbiditas HIV dan obat sensitif (DS) bisa melangsungkan hidup
sampai 11 bulan. Keempat, hanya sekitar 15% pasien dengan komorbiditas HIV dan resistensi
obat (MDR) bisa melangsungkan hidup sampai 11 bulan. Dengan jelas grafik Kaplan-Meier
menunjukkan bahwa ko-infeksi HIV dan/ atau resistensi obat tuberkulosis (MDR)
memperburuk prognosis pasien tuberkulosis.




Studi Kawai et al. (2006) juga menemukan, sebagian besar pasien dengan sensitivitas
obat (DS) menunjukkan hasil pemeriksaan sputum dan kultur negatif dalam tempo 6 minggu
terapi. Sedang sebagian besar pasien dengan resistensi obat (MDR) tetap positif mengidap
kuman tuberkulosis sampai pasien meninggal atau selesai pengobatan. Dapat disimpulkan,
MDR berhubungan dengan pemanjangan masa infeksi, sedang ko-infeksi HIV berhubungan
dengan kematian dini. Kedua kondisi itu mengisyaratkan perlunya akses yang lebih baik
kepada terapi anti-retrovirus.

Studi tersebut menyarankan agar dilakukan tes sensitivitas obat dan upaya pengendalian
infeksi dengan segera, agar resistensi obat tuberkulosis bisa diatasi dengan cepat untuk
mengurangi mortalitas dan transmisi karena tuberkulosis.


7. Memberikan dasar ilmiah pembuatan kebijakan publik dan regulasi tentang masalah kesehatan masyarakat
Epidemiologi merupakan instrumen untuk mengontrol distribusi penyakit pada populasi. Riset epidemiologi memberikan informasi yang bisa digunakan sebagai dasar ilmiah pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan tentang cara mencegah kejadian baru penyakit, membasmi kasus yang timbul, mencegah kematian dini, memperpanjang hidup, dan memperbaiki status kesehatan populasi.

Contoh: Pada 2000 sekitar 466,000 kasus baru Ca serviks terjadi pada wanita di seluruh
dunia setiap tahun. Dari 288,000 wanita yang meninggal karena Ca serviks setiap tahun,
sekitar 80 persen dari kematian itu berasal dari negara berkembang. Ketimpangan beban
penyakit (disease burden) Ca serviks antara negara maju dan negara berkembang terutama
disebabkan oleh ketiadaan program skrining yang terorganisasi dengan baik dan kekurangan
sumberdaya (Mandelbatt et al., 2002; WHO, 2002; Alliance for Cervical Cancer Prevention,
2007; Panda, 2007).

Bukti-bukti studi epidemiologis menunjukkan, sebagian besar kasus Ca serviks sesungguhnya dapat dicegah dengan efektif melalui skrining. Dewasa ini dikenal beberapa tes skrining, di antaranya tes sitologis hapusan Pap (Papanicolaou smear). Hapusan Pap efektif untuk mendeteksi secara dini lesi prekanker. Tetapi skrining tersebut membutuhkan waktu lama dan ketersediaan aneka sumberdaya, meliputi laboratorium andal, dokter atau bidan untuk pengambilan spesimen, teknisi sitologi yang terampil, ahli patologi untuk pembacaan dan evaluasi abnormalitas sitologis hasil hapusan Pap, tiga kali kunjungan pasien untuk skrining, dan pengobatan. Implikasinya, skrining dengan hapusan Pap sulit diimplementasikan secara rutin di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumberdaya. Sebagai alternatif, tes DNA untuk human papillomavirus (HPV) dan skrining inspeksi visual asam asetat (IVA, visual inspection of the cervix with acetic acid/ VIA) dihipotesiskan merupakan strategi yang lebih praktis, tidak terlalu tergantung infrastruktur laboratorium, dan memerlukan kunjungan lebih sedikit (WHO, 2002; Goldie et al., 2005).

Dengan latar belakang tersebut Goldie et al. (2005) menggunakan model berbasis komputer untuk menilai cost-effectiveness berbagai strategi skrining Ca serviks di 5 negara yang memiliki perbedaan profil epidemiologi dan sumberdaya, yaitu India, Kenya, Peru, Afrika Selatan, dan Thailand. Peneliti menggabungkan data primer dengan data dari literatur untuk mengestimasi angka insidensi dan mortalitas Ca serviks yang disesuaikan menurut umur, dan lalu menilai efektivitas skrining dan terapi untuk lesi prekanker. Peneliti menghitung biaya medis dan biaya lain terkait program (bahan habis pakai dan peralatan laboratorium, transport spesimen, pelatihan, administrasi) yang bervariasi menurut jenis tes skrining, sasaran usia, dan frekuensi, waktu, serta jumlah kunjungan klinik yang diperlukan. Strategi skrining kunjungan tunggal mengasumsikan, skrining dan terapi dapat diberikan pada hari yang sama. Variabel hasil yang diteliti meliputi risiko kanker setelah skrining, tahun hidup yang bisa diselamatkan, dan cost-effectiveness ratios (yakni, rasio antara biaya dan tahun hidup yang bisa diselamatkan) (Goldie et al., 2005).

Hasil studi menemukan, melakukan skrining sekali seumur hidup pada usia 35 tahun, dengan sekali atau dua kali kunjungan menggunakan IVA atau HPV terhadap spesimen sel serviks, dapat menurunkan risiko relatif seumur hidup terkena kanker sebesar sekitar 25 persen (IVA) sampai 36 persen (HPV), dengan biaya kurang dari $500 per tahun hidup yang bisa diselamatkan. Risiko relatif terkena kanker berkurang sebesar 65 persen (IVA) hingga 76% (HPV) jika melakukan dua kali skrining (pada usia 35 dan 40 tahun). Hasil studi juga menemukan, biaya per tahun hidup yang diselamatkan dengan kedua pendekatan tersebut lebih rendah daripada produk domestik bruto per kapita, suatu hasil yang sangat cost-effective, menurut standar yang ditentukan oleh Commission on Macroeconomics and Health, WHO (Goldie et al., 2005; Sherris et al., 2009).

Studi Goldie et al. (2005) menyimpulkan untuk negara berkembang dengan sumberdaya terbatas, strategi skrining Ca serviks dengan IVA atau HPV sekali atau dua kali kunjungan merupakan alternatif yang lebih cost-effective daripada program skrining berbasis sitologi dengan tiga kali kunjungan.







PENGANTAR EPIDEMIOLOGI , bagian 3 : PRINSIP DAN METODE EPIDEMIOLOGI

0 komentar:

Posting Komentar