PRINSIP DAN METODE EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi merupakan sains yang menggunakan metode ilmiah untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan terjadinya penyakit. Epidemiologi deskriptif mendeskripsikan distribusi penyakit dan kecenderungan (trend) penyakit pada populasi. Epidemiologi deskriptif berguna untuk memahami distribusi dan mengetahui besarnya masalah kesehatan pada populasi. Epidemiologi analitik mempelajari determinan/ faktor risiko/ kausa penyakit. Epidemiologi analitik berguna untuk memahami kausa penyakit, menjelaskan dan meramalkan kecenderungan penyakit, dan menemukan strategi yang efektif untuk mencegah dan mengendalikan penyakit.
Kedua jenis riset epidemiologi memerlukan metode ilmiah agar deskripsi, penjelasan, prediksi, cara pengendalian dan pencegahan penyakit benar (valid) dan dapat diandalkan (reliabel). Prinsip dan metode ilmiah epidemiologi sebagai berikut: (1) Penalaran epidemiologi; (2) Pengukuran; (3) Perbandingan; (4) Estimasi; (5) Uji hipotesis; (6) Validitas, presisi, dan konsistensi penelitian.
Penalaran epidemiologis.
Penalaran epidemiologis (epidemiologic reasoning) merupakan pola sistematis dan logis untuk menarik kesimpulan kausal (causal inference) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan penyakit pada populasi. Penalaran epidemiologis dimulai dengan menganalisis distribusi penyakit pada populasi (epidemiologi deskriptif), yang menimbulkan suatu kecurigaan (suspicion) bahwa paparan suatu faktor berpengaruh terhadap terjadinya penyakit. Kecurigaan tentang penyebab penyakit kemudian dirumuskan dalam pernyataan prediktif yang disebut hipotesis. Hipotesis itu kemudian diuji dengan data yang dikumpulkan secara sistematis melalui pengamatan atau eksperimentasi (epidemiologi analitik). Data yang dikumpulkan dianalisis untuk menentukan apakah terdapat hubungan (asosiasi) statistik antara paparan faktor tersebut dengan penyakit yang diteliti (Gambar 10).
Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kebenaran (validitas) kesimpulan tentang hubungan yang teramati, yakni menilai apakah hubungan tersebut benar (true association) atau palsu (spurious association). Hubungan yang palsu dapat disebabkan oleh kesalahan sistematis dalam memilih subjek penelitian (bias seleksi), kesalahan dalam mengukur variabel dan menginterpretasikan data (bias informasi), dan/ atau kerancuan oleh faktor ketiga yang disebut faktor perancu (confounding factor).
Jika hubungan palsu telah disingkirkan, maka langkah selanjutnya adalah menilai seberapa besar peran peluang mempengaruhi hubungan yang valid antara paparan dan penyakit. Penilaian peran peluang dilakukan dengan menguji signifikansi statistik hubungan yang teramati. Makin kecil nilai p sebagai hasil dari uji statistik, makin kecil peran peluang dalam kesimpulan tentang hubungan yang valid antara paparan dan penyakit, makin konsisten dan dapat diandalkan kesimpulan hubungan itu dalam jangka panjang.
Setelah disimpulkan bahwa hubungan paparan-penyakit benar (valid) dan konsisten, langkah terakhir adalah menilai apakah hubungan tersebut kausal (hubungan sebab-akibat). Penilaian tentang hubungan kausal dilakukan berdasarkan hasil-hasil dari riset lintas disiplin, yaitu riset epidemiologi maupun non-epidemiologi. Penilaian tentang hubungan kausal perlu mempertimbangkan sejumlah kriteria kausasi yang dikemukakan Bradford Hill, meliputi kekuatan asosiasi, konsistensi temuan, hubungan temporal, hubungan dosis-respons, masuk akal secara biologis (biologic plausibility), koherensi dengan teori ataupun hasil penelitian non- epidemiologi, analogi, dan eksperimentasi (Last, 2001). Sebagai contoh, replikasi (pengulangan) penelitian yang hasilnya dirangkum dalam systematic review atau meta-analisis, berguna untuk menilai konsistensi temuan. Konsistensi temuan membantu meyakinkan hubungan kausal, meskipun temuan yang inkonsisten tidak menyingkirkan kemungkinan hubungan kausal.
Tetapi epidemiologi tidak hanya sebuah sains. Seperti ilmu kedokteran, epidemiologi merupakan sains dan seni. Dalam model kedokteran, dokter menggunakan seni bertanya kepada pasien (anamnesis), seni melakukan pemeriksaan fisik pasien, meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi, untuk mendiagnosis masalah penyakit pasien dengan tepat. Dalam model kedokteran berbasis bukti, seorang dokter tidak hanya menggunakan bukti-bukti ilmiah yang terbaik, tetapi juga seni dalam memanfaatkan pengalaman dan memadukan nilai-nilai pasien untuk mendiagnosis penyakit dan menyembuhkan pasien. Seni dalam epidemiologi mencakup kreativitas dalam menafsirkan temuan dan membuat inferensi kausal dengan benar (Rothman, 2002; Slattery, 2002). Dalam membuat kesimpulan bahwa paparan suatu faktor adalah kausa penyakit, atau kesimpulan bahwa intervensi tertentu efektif, seorang ahli epidemiologi tidak hanya menggunakan bukti-bukti ilmiah tetapi juga seni untuk menginterpretasikan bukti-bukti epidemiologis tersebut. Seni dan kreativitas juga diperlukan dalam membuat diagnosis yang tepat tentang masalah kesehatan pada komunitas, maupun memilih strategi pencegahan penyakit yang efektif.
Pengukuran. Esensi riset empiris adalah melakukan pengukuran (measurement) variabel-variabel pada setiap subjek penelitian. Pengukuran variabel mencakup klasifikasi subjek penelitian ke dalam kategori-kategori (misalnya, kasus atau nonkasus), atau meletakkan subjek penelitian sepanjang suatu kontinum nilai (misalnya, umur). Contoh 1, peneliti berminat menghubungkan kejadian kanker buli-buli (Ca vesika urinaria) dengan pekerjaan di suatu industri. Pada studi tersebut peneliti menentukan setiap subjek dari sampel ke dalam kategori kasus atau nonkasus. Dengan pengukuran variabel status penyakit seperti itu diperoleh data kategorikal. Contoh 2, peneliti berminat menghubungkan usia dengan kejadian stroke. Pada studi tersebut peneliti menentukan umur subjek penelitian dalam satuan tahun. Dengan pengu-kuran variabel umur seperti itu diperoleh data kontinu.
Dalam pengukuran dikenal dua konsep yang berbeda tetapi berkaitan: (1) unit observasi; dan (2) unit analisis. Unit observasi (unit pengamatan) untuk suatu variabel penelitian adalah tingkat agregasi subjek manusia di mana pengukuran tersebut dilakukan (Kleinbaum et al., 1982). Pengukuran variabel dapat dilakukan pada tingkat individu, atau kumpulan individu, seperti keluarga, pertetanggaan (neighborhood), komunitas, kabupaten, propinsi, atau negara. Tetapi variabel dalam riset epidemiologi dapat juga diukur pada tingkat lingkungan (baik lingkungan fisik, sosial, organisasional, institusional, dan sebagainya). Variabel yang diukur pada tingkat individu disebut variabel individu. Variabel yang diukur pada tingkat kumpulan individu, disebut variabel kelompok, atau variabel agregat. Sedang variabel yang diukur pada tingkat lingkungan disebut variabel ekologis, atau variabel kontekstual (Blakely dan Woodward, 2000). Contoh, sebuah analisis time-series menghubungkan temperatur udara di kota London yang diukur setiap hari selama 21 tahun dari Januari 1976 hingga Desember 1996, dengan angka kematian (Hajat et al, 2002). Dalam studi tersebut temperatur udara tidak diukur pada masing-masing individu, tidak juga diukur pada kelompok individu, melainkan diukur pada kota di sejumlah waktu yang berurutan. Jadi temperatur udara merupakan variabel ekologis.
Unit analisis adalah tingkat di mana data hasil pengukuran direduksi dan dianalisis (Dogan dan Rokkan, 1969, dikutip Kleinbaum et al., 1982). Di dalam epidemiologi, umumnya unit analisis adalah individu (disebut analisis individu), atau kelompok (disebut analisis ekologis, analisis agregat), baik yang dilakukan pada studi potong-lintang (cross-sectional) ataupun studi longitudinal. Perbedaan utama antara analisis individu dan analisis ekologis terletak pada pengetahuan peneliti tentang distribusi bersama (joint distribution) antara paparan dan penyakit pada individu. Pada analisis individu peneliti mengetahui distribusi bersama antara paparan dan penyakit yang diteliti pada individu. Tetapi karena epidemiologi merupakan sains populasi, maka analisis data tentang relasi paparan-penyakit pada level individu digunakan untuk memahami perbedaan distribusi frekuensi penyakit pada kelompok-kelompok individu atau populasi, bukan untuk mempelajari relasi paparan-penyakit pada masing-masing individu secara terpisah.
Pada analisis ekologis peneliti tidak mengetahui atau tidak dapat memastikan distribusi tersebut pada tingkat individu. Ketidaktahuan peneliti tentang distribusi paparan-penyakit pada tingkat individu menyebabkan studi ekologis rentan untuk mengalami kesalahan dalam penarikan kesimpulan tentang hubungan antara paparan dan penyakit, disebut kesalahan ekologis (ecologic fallacy) (Blakely dan Woodward, 2000).
Pada umumnya peristiwa biologis yang merupakan minat utama para ahli epidemiologi terjadi pada tingkat individu, sehingga sebagian besar data epidemiologi diperoleh berdasarkan individu sebagai unit observasi. Namun secara teoretis kausa penyakit bersifat kompleks, meli-batkan kausa proksimal pada tingkat individu, maupun kausa distal pada tingkat ekologis. Karena itu dalam beberapa dekade terakhir makin banyak dilakukan riset epidemiologi yang mengamati variabel dan menganalisis data pada berbagai level, disebut analisis multilevel (Blakely dan Woodward, 2000).
Dalam studi epidemiologi apapun, mengukur variabel dengan benar dan konsisten merupakan kondisi yang tidak dapat dikompromikan. Karena itu pengukuran variabel harus memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Validitas pengukuran merujuk kepada kesesuaian hasil pengukuran sebuah alat ukur (instrumen) dengan apa yang seharusnya akan diukur oleh peneliti. Reliabilitas pengukuran merujuk kepada konsistensi internal alat ukur dan stabilitas pengukuran ketika dilakukan antar waktu (test-retest reliability), intra pengamat (intra-observer reliability), maupun antar pengamat (intra-observer reliability) pada kondisi-kondisi yang identik (Polgar dan Thomas, 2000; Streiner dan Norman, 2000).
Kegagalan peneliti mengukur variabel dengan benar mengakibatkan kesalahan sistematis yang disebut kesalahan pengukuran (measurement bias, measurement error). Kesalahan sistematis dalam pengukuran mengakibatkan hasil penelitian tidak sah, tidak valid, tidak benar. Kesalahan pengukuran memberi akibat yang lebih serius daripada masalah ukuran sampel (sample size) yang tidak cukup besar. Jika senapan diumpamakan suatu instrumen atau alat ukur, maka ibarat orang menembak ke sasaran tembak, menembak dua-tiga kali dengan menggunakan senapan berlaras lempang (lurus) lebih baik daripada menembak sepuluh kali dengan senapan berlaras lancung (bengkok).
Perbandingan. Tujuan studi epidemiologi analitik adalah menarik kesimpulan tentang hubungan antara paparan terhadap penyakit, atau pengaruh intervensi terhadap variabel hasil pada populasi. Hubungan/ pengaruh paparan yang diteliti tidak bisa diketahui jika peneliti hanya mengamati sebuah kelompok subjek, misalnya kelompok yang terpapar saja pada studi kohor, atau kelompok kasus saja pada studi kasus kontrol, atau kelompok eksperimental saja pada studi eksperimental. Hubungan/ pengaruh paparan yang diteliti hanya bisa diketahui jika peneliti membandingkan hasil pengukuran variabel yang diteliti pada kelompok-kelompok subjek dengan kelompok pembanding (kelompok kontrol, kelompok referensi). Kelompok pembanding pada studi kohor disebut kelompok tak terpapar, pada studi kasus kontrol disebut kelompok kontrol, pada studi eksperimental disebut kelompok kontrol.
Selanjutnya peneliti menentukan apakah terdapat perbedaan antar kelompok-kelompok subjek tersebut dalam variabel yang diteliti. Jika terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan antar kelompok-kelompok yang dibandingkan, maka ditarik kesimpulan terdapat hubungan statistik antara paparan dan penyakit, atau terdapat pengaruh intervensi terhadap variabel hasil. Demikian pula jika hubungan yang diteliti menyangkut variabel kontinu, peneliti sesungguhnya secara implisit membandingkan subjek-subjek yang memiliki perbedaan nilai variabel yang diteliti. Sebagai contoh, dalam studi tentang hubungan antara kadar kolesterol (mg/dl) dan umur (tahun), sesungguhnya peneliti membandingkan kadar kolesterol pada subjek-subjek yang memiliki perbedaan umur.
Estimasi. Epidemiologi deskriptif menaksir (mengestimasi) besarnya risiko penyakit pada kelompok subjek terpapar ataupun kelompok subjek tak terpapar. Risiko adalah ukuran kuantitatif yang menunjukkan besarnya probabilitas subjek untuk mengalami penyakit dalam kelompoknya. Risiko dihitung dari jumlah insidensi (kasus baru) penyakit dibagi dengan populasi berisiko.
Epidemiologi analitik menaksir hubungan antara paparan dan penyakit, atau pengaruh intervensi terhadap variabel hasil, baik bentuk taksiran titik (point estimate) maupun taksiran interval (interval estimate). Prinsipnya, jika risiko penyakit pada kelompok subjek terpapar dibandingkan dengan risiko penyakit pada kelompok subjek tak terpapar, maka akan diperoleh informasi tentang besarnya risiko kelompok terpapar relatif dibandingkan dengan kelompok terpapar, sehingga diketahui hubungan antara paparan dan penyakit yang diteliti, atau pengaruh intervensi terhadap variabel hasil. Indeks yang mengukur besarnya hubungan antara paparan dan penyakit, atau pengaruh paparan terhadap penyakit disebut ukuran hubungan atau ukuran pengaruh (measure of association, effect measure, effect size). Dikenal sejumlah ukuran hubungan, tiga di antaranya: Risiko Relaitf, Odds Ratio, dan Beda Risiko.
Risiko Relatif (Rasio Risiko, RR) adalah rasio antara risiko mengalami penyakit pada kelompok terpapar dan risiko mengalami penyakit pada kelompok tak terpapar. Makin besar RR, makin besar risiko untuk mengalami penyakit pada kelompok terpapar, relatif ketika dibandingkan dengan kelompok tak terpapar. Sebagai contoh, Tabel 1 menunjukkan perokok sigaret memiliki risiko relatif sebesar 11.2 (=123/11) untuk terkena kanker paru dibandingkan dengan bukan perokok. Jika di samping merokok juga terpapar debu asbestos, maka risiko relatif adalah 54.7 (=602/11) untuk terkena kanker paru dibandingkan dengan tidak terpapar. Jadi terdapat sinergi pengaruh antara kebiasaan merokok tembakau dan paparan debu asbestos (Hammond et al., 1979, dikutip Bonita et al., 2006).
Odds Ratio (OR) pada studi kasus kontrol adalah rasio antara odd (yaitu, terpapar versus tak terpapar) pada kelompok kasus dan odd pada kelompok kontrol. Pada studi kohor, OR adalah rasio antara odd (yaitu, sakit versus tidak sakit) pada kelompok terpapar dan odd pada kelompok tidak terpapar. Odd berbeda dengan risiko. Pada studi kohor, jika jumlah yang sakit disebut a, jumlah yang tidak sakit disebut b, maka odd adalah a/b, yaitu rasio antara jumlah subjek yang sakit dan subjek yang tidak sakit, baik pada kelompok terpapar maupun kelompok tidak terpapar. Sedang risiko adalah a/(a+b), yaitu proporsi jumlah subjek yang sakit dari jumlah seluruh subjek, baik pada kelompok terpapar maupun kelompok tak terpapar. Jika prevalensi penyakit cukup rendah (<10%), maka odd mendekati risiko, sehingga OR mendekati RR. Tetapi jika prevalensi penyakit tidak cukup rendah (≥10%), maka odd lebih besar daripada risiko, sehingga OR lebih besar daripada RR, sehingga OR bukan pengganti yang baik untuk RR.
Beda Risiko (Risk Difference, RD) adalah beda absolut antara risiko sakit pada kelompok terpapar dan risiko sakit pada kelompok tak terpapar. Makin besar RD, makin besar jumlah kasus penyakit yang bisa dihindari kalau saja dilakukan pencegahan terjadinya paparan pada kelompok terpapar.
RR dan OR menunjukkan perbedaan relatif risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tak terpapar. Sedang RD menunjukkan perbedaan absolut risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tak terpapar. Estimasi pengaruh paparan dianjurkan untuk disajikan dalam taksi-ran titik maupun taksiran interval dengan interval keyakinan tertentu, lazimnya Confidence Interval (CI) 95%, di samping nilai p (Sterne dan Smith, 2001; Rothman, 2002). Penyajian dalam taksiran interval berguna untuk dua tujuan. Pertama, taksiran interval memberikan informasi tentang rentang nilai besarnya pengaruh yang masih memiliki signifikansi statistik ketika hendak dihubungkan dengan signifikansi klinis. Kedua, taksiran interval memungkinkan pembuatan rangkuman pengaruh dalam meta-analisis.
Uji Hipotesis dan Uji Statistik. Epidemiologi analitik menguji hipotesis tentang perbedaan/ hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit, atau pengaruh intervensi terhadap variabel hasil. Sebagai contoh, sebuah eksperimen merumuskan hipotesis bahwa pemberian metilprednisolon berpengaruh dalam menurunkan kematian pada pasien dengan tetanus. Ini merupakan sebuah contoh studi epidemiologi analitik yang berguna untuk melakukan pencegahan tersier (mencegah kematian prematur). Maka peneliti mengumpulkan data untuk menguji apakah data yang teramati mendukung hipotesis tersebut. Pengujian hipotesis secara kuantitatif dilakukan dengan melakukan uji statistik.
Intinya, uji statistik merupakan prosedur untuk menentukan apakah data yang dikumpulkan menolak atau mendukung hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel. Jika hipotesis nol ditolak maka disimpulkan terdapat perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel yang secara statistik signifikan. Apakah arti “secara statistik signifikan”? Dalam diskusi hasil penelitian sering dijumpai orang yang gemar mengatakan kalimat “secara statistik signifikan” atau “secara statistik bermakna”, tetapi umumnya tidak memahami arti frasa tersebut. Sebuah studi yang menemukan perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel yang secara statistik signifikan mengandung arti bahwa temuan tersebut dapat diandalkan (reliabel) atau konsisten dalam jangka panjang. Artinya, jika dilakukan pengulangan (replikasi) penelitian dengan metode sama atau serupa, pada sampel-sampel yang dicuplik dengan cara serupa, maka analisis pada masing-masing sampel akan menghasilkan kesimpulan yang serupa. Jelas bahwa signifikansi statistik bukan merupakan konsep yang merujuk kepada ada tidaknya hubungan/ pengaruh variabel, tidak juga merujuk kepada kekuatan hubungan atau besarnya pengaruh variabel, melainkan konsistensi temuan tentang perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel.
Uji statistik juga bisa dipahami sebagai suatu prosedur untuk menilai sejauh mana peran peluang (peran kebetulan) bermain dalam kesimpulan tentang adanya hubungan/ pengaruh variabel. Suatu temuan yang menunjukkan terdapat perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel yang secara statistik signifikan mengandung arti bahwa peran peluang (kebetulan) dalam temuan tersebut kecil.
Mengapa peran peluang perlu dinilai dalam setiap kesimpulan tentang perbedaan/ hubungan/ pengaruh? Setiap hasil analisis statistik terhadap data sampel yang dipilih dari populasi selalu mengandung suatu kesalahan yang terjadi sebagai konsekuensi adanya variasi dari satu pemilihan sampel ke pemilihan sampel lainnya, disebut variasi pemilihan sampel (sampling variation, sampling error). Jika pemilihan sampel itu dilakukan secara random (random sampling), bukannya purposif (purposive sampling), maka variasi kesimpulan dari satu sampel ke sampel lainnya merupakan kesalahan random (random error). Jika sebuah studi menemukan adanya perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel dengan kesalahan random cukup besar, maka temuan tersebut dapat diartikan terlalu banyak mengandung faktor kebetulan. Implikasinya, jika peneliti lain mereplikasi studi dengan desain sama, maka besar kemungkinan akan menemukan hasil yang berbeda dengan temuan sebelumnya.
Hasil uji statistik apapun perlu dilaporkan dalam statistik uji, misalnya statistik t, statistik X2, maupun nilai p (p-value). Intinya, makin besar statistik uji, makin signifikan secara statistik, makin konsisten kesimpulan tentang perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel. Nilai p adalah probabilitas untuk menarik kesimpulan salah terdapat perbedaan/ hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit sebesar atau lebih besar daripada yang teramati, jika hipotesis nol benar. Makin kecil nilai p, makin kecil probabilitas untuk menarik kesimpulan salah tersebut, makin signifikan secara statistik kesimpulan tentang perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel, makin dapat diandalkan atau konsisten kesimpulan perbedaan/ hubungan/ pengaruh variabel tersebut, makin kecil peran peluang Sebagai contoh, jika pemberian metilprednisolon mampu mengurangi mortalitas pada pasien dengan tetanus, dengan nilai p= 0.002, maka temuan tersebut lebih dapat diandalkan (konsisten) daripada temuan dengan nilai p= 0.020. Karena p=0.002 memiliki makna yang berbeda dengan p=0.020, maka merupakan kebiasaan idiot jika ada orang yang mereduksi nilai p=0.002 dan p=0.020 menjadi p<0.05.
Penggunaan metode pengujian hipotesis secara statistik mengisyaratkan bahwa epidemiologi menggunakan teori statistik dan teori probabilitas. Seperti astronomi, teori-teori statistik memungkinkan epidemiologi menjadi sebuah sains yang bersifat empiris yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi peristiwa atau fenomena. Tetapi perlu diketahui bahwa pendekatan statistik juga memiliki keterbatasan ketika digunakan untuk membuat prediksi. Contoh, jika sebuah studi menyimpulkan bahwa bekerja pada industri tertentu meningkatkan risiko kanker buli-buli sebesar 3 kali lipat dalam tempo 10 tahun, maka dengan kesimpulan tersebut tidak dapat diprediksi dengan pasti pada level individu tentang pekerja mana akan mengalami kanker buli-buli dalam tempo 10 tahun ke depan. Kesimpulan tersebut hanya dapat memprediksi dengan cukup tepat pada level kelompok, yaitu berapa jumlah kasus kanker buli-buli akan terjadi pada industri tersebut dalam tempo 10 tahun ke depan, bukan siapa yang terkena kanker buli-buli.
Validitas, Presisi, dan Konsistensi.
Studi epidemiologi yang baik menghasilkan temuan yang konsisten (dapat diandalkan) dan benar (valid). Contoh, sejumlah studi beberapa tahun terakhir menyimpulkan, paparan radiasi jangka panjang yang dipancarkan dari penggunaan telepon seluler memiliki hubungan kausal dengan tumor otak. Apakah kesimpulan tersebut benar? Ahlbom et al. (2009) melaporkan, berbagai studi tersebut, yang sebagian besar studi kasus-kontrol, memiliki kelemahan metodologis yang mempengaruhi validitas kesimpulan, yaitu ketidakmampuan dalam mengontrol bias non-respons selektif dan recall bias tentang riwayat penggunaan telepon seluler. Systematic review yang dilakukan Ahlbom et al. (2009) menyimpulkan, semua hasil studi yang dipublikasikan sampai saat ini tidak menunjukkan adanya hubungan kausal antara penggunaan jangka panjang telepon seluler (≤10 tahun) dan peningkatkan risiko tumor otak (khususnya tumor glioma yang tumbuh relatif cepat) ataupun tumor kepala lainnya. Tetapi di sisi lain, semua studi tersebut tidak bisa menyingkirkan kemungkinan efek paparan penggunaan telepon seluler jangka panjang (>10 tahun) terhadap meningkatnya risiko tumor otak yang tumbuh lebih lambat (misalnya, meningioma dan neuroma akustik), karena waktu pengamatan yang terbatas.
Validitas kesimpulan sebuah penelitian tergantung dari sejauh mana peneliti telah mencegah atau mengontrol sumber kesalahan yang bersifat sistematis (systematic error), yakni bias dan kerancuan (confounding). Bias adalah kesalahan dalam menyimpulkan hubungan atau pengaruh paparan terhadap penyakit, sebagai akibat dari kesalahan sistematis dalam memilih subjek penelitian, atau kesalahan dalam mengukur variabel.
Bias dibedakan dalam dua jenis: (1) bias seleksi; dan (2) bias informasi (Hennekens dan Buring, 1987). Bias seleksi adalah kesalahan dalam menyimpulkan hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit, akibat cara memilih subjek penelitian yang salah sehingga menghasilkan kelompok-kelompok subjek yang tidak sebanding. Untuk mencegah bias seleksi, maka kelompok-kelompok studi yang dibandingkan harus dipilih dengan cara yang serupa sehingga menghasilkan kelompok-kelompok studi yang sebanding (comparable).
Bias informasi (bias pengukuran, bias observasi) adalah kesalahan dalam menyimpulkan hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit, akibat dari kesalahan dalam memilih alat ukur variabel, mengukur variabel, mengklasifikasi status paparan dan penyakit, memasukkan data, menafsirkan hasil analisis data, atau melaporkan hasil penelitian. Untuk mencegah bias informasi, maka peneliti harus memilih alat ukur yang tepat, menggunakan alat ukur dengan benar, mengklasifikasikan status paparan dan penyakit dengan benar, memasukkan data dengan benar, menafsirkan hasil analisis data dengan benar, serta melaporkan hasil penelitian dengan benar.
Kerancuan (confounding) adalah distorsi dalam menaksir hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit sebagai akibat tercampurnya pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor perancu (confounding factor). Sebagai contoh, andaikata sebuah studi menyimpulkan bahwa urutan kelahiran (birth order) memiliki hubungan kausal dengan risiko terjadinya sindroma Down. Anak yang lahir kemudian memiliki risiko lebih besar untuk mengalami sindroma Down daripada anak yang lahir sebelumnya. Apakah kesimpulan itu valid? Bukti-bukti epidemiologis menunjukkan, kesimpulan bahwa urutan kelahiran meningkatkan risiko sindroma Down adalah salah alias tidak valid. Tabel 2 memeragakan hasil studi Erickson (1978) yang menghubungkan insidensi sindroma Down per 1000 kelahiran dengan umur ibu dan urutan kelahiran. Data dikumpulkan dari 29 negara bagian dan 2 kota besar di AS oleh National Cleft Lip and Palate Intelligence Service (NIS) dari 1961 hingga 1966.
Tabel 1.2 menunjukkan dengan jelas, bukan urutan kelahiran yang meningkatkan risiko sindroma Down, melainkan umur ibu. Sebagai contoh, risiko untuk mengalami sindroma Down pada anak pertama secara bertahap meningkat dengan meningkatnya umur ibu. Insidensi sindroma Down pada umur ibu ≤19 tahun adalah 0.22 kasus per 1000 kelahiran, pada umur ≥40 tahun 6.32 kasus per 1000 kelahiran. Tabel 2 menunjukkan tidak terdapat perbedaan insidensi sindroma Down menurut urutan kelahiran pada berbagai kelompok umur ibu.
Salah satu tujuan studi epidemiologi analitik adalah menaksir kekuatan hubungan atau besarnya pengaruh paparan terhadap terjadinya penyakit. Dalam hal ini studi epidemiologi analitik dituntut untuk tidak hanya memberikan hasil yang valid (benar) tetapi juga hasil yang memiliki presisi tinggi. Apakah presisi? Presisi adalah ketelitian dalam penaksiran tentang hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit, yang secara teknis ditunjukkan oleh lebar taksiran interval tentang hubungan/ pengaruh tersebut. Makin sempit lebar taksiran interval, makin tinggi presisi tasiran tentang hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit tersebut. Sebagai contoh, Sairenchi et al. (2004) melakukan studi kohor retrospektif di Jepang untuk meneliti hubungan antara merokok dan diabetes melitus tipe 2. Studi tersebut mengobservasi 39,528 laki-laki nondiabetik dan 88,613 perempuan nondiabetik berusia 40-79 tahun yang menjalani pemeriksaan umum kesehatan dari 1993 hingga 2002. Rasio Risiko (disingkat RR) untuk mengalami diabetes menurut kebiasan merokok dihitung dengan analisis regresi Cox.
Studi itu menemukan, dibandingkan dengan bukan perokok, RR untuk diabetes pada perokok kini (current smoker), setelah mengontrol pengaruh umur, tekanan darah sistolik, penggunaan obat antihipertensi, asupan alkohol, riwayat diabetes orangtua, indeks massa tubuh, status puasa, konsentrasi gula darah, tingkat kolesterol HDL dan total, dan bentuk logaritme dari tingkat trigliserida, adalah 1.27 (CI95% 1.16 sd 1.38) pada laki-laki dan 1.39 (CI95% CI 1.20 sd 1.61) pada perempuan. Taksiran tentang hubungan antara merokok dan diabetes melitus tipe 2 tersebut memiliki presisi yang tinggi, karena menunjukkan rentang taksiran CI95% yang sempit.
PENGANTAR EPIDEMIOLOGI , bagian 4 : CABANG EPIDEMIOLOGI
0 komentar:
Posting Komentar