Rabu, 15 November 2017

PENGANTAR EPIDEMIOLOGI , bagian 4 : CABANG EPIDEMIOLOGI

CABANG EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi dalam bentuk premordial telah dikenal sejak 20 abad yang lalu ketika Hippocrates mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit dalam tulisannya “On Airs, Waters, and Places”. Tetapi baru pada abad kesembilanbelas distribusi penyakit pada kelompok-kelompok manusia dianalisis secara kuantitatif. Abad kesembilanbelas ditandai tidak hanya dimulainya formalitas epidemiologi sebagai sains, tetapi juga awal dari sejumlah pencapaian spektakuler riset epidemiologi. Sejak investigasi outbreak kolera yang dilakukan John Snow pada 1854, berbagai studi epidemiologi telah dilakukan untuk meneliti hubungan antara proses fisik, kimia, biologi, sosial, dan politik, dengan peningkatan terjadinya penyakit.

Epidemiologi dalam bentuk modern merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, dimulai
pada awal abad keduapuluh. Aneka metode analisis data kuantitatif dikembangkan untuk
mempelajari kejadian penyakit kronis non-infeksi yang cenderung meningkat di negara-negara
Barat. Contoh, Doll dan Peto (1978) melaporkan salah satu hasil studi kohor The British Doctor
Study yang dimulai tahun 1950an. Doll dan Peto memeragakan hubungan dosis-respons antara
jumlah sigaret tembakau yang diisap dan insidensi Ca paru (Ca bronkhus) per 105 orang-tahun
(Gambar 11).



Sesuai dengan kriteria kausasi Hill, hubungan dosis-respons yang ditunjukkan dalam
studi kohor itu memperkuat keyakinan bahwa hubungan antara merokok tembakau dan Ca
paru merupakan hubungan kausal. Hubungan dosis-respons tersebut sekaligus menjelaskan
mengapa Ca bronkhus lebih banyak terjadi di bagian atas daripada bagian bawah bronkhus
(Doll dan Peto, 1978). Sejak “The British Doctor Study” mempublikasikan hasil-hasil riset untuk
pertama kali, banyak studi kohor dan studi kasus-kontrol dilakukan untuk meneliti peran
etiologis dari faktor-faktor gaya hidup, faktor okupasi, virus, dan diet, terhadap risiko
terjadinya penyakit kronis, misalnya kanker.

Umumnya analisis yang digunakan epidemiologi klasik John Snow dalam meneliti
epidemiologi penyakit infeksi, maupun yang digunakan epidemiologi modern The Framingham
Study (AS) dan The British Doctor Study (Inggris) dalam meneliti penyakit kronis non-infeksi,
masih menggunakan pendekatan epidemiologi “Black box”, tanpa perlu mengetahui isi dari
kotak hitam. Kini epidemiologi telah berkembang pesat menjadi berbagai cabang, antara lain
epidemiologi molekuler yang memperluas metode analisis epidemiologi konvensional dengan
mengukur isi kotak hitam, yakni patogenesis penyakit yang terjadi dalam kontinum paparanpenyakit.
Beberapa di antara aneka cabang epidemiologi dibahas sebagai berikut.

Epidemiologi Molekuler. 
Epidemiologi molekuler merupakan cabang epidemiologi yang mempelajari kontribusi faktor risiko genetik dan lingkungan yang diidentifikasi pada level molekul dan biokimia terhadap etiologi, distribusi, dan pengendalian penyakit pada keluarga dan populasi (Mathema et al., 2006; Wikipedia, 2011a). Kata epidemiologi molekuler digunakan pertama kali oleh Kilbourne pada 1973 dalam artikel "The molecular epidemiology of influenza". Disiplin epidemiologi molekuler makin dikenal luas dengan terbitnya buku teks "Molecular Epidemiology: Principles and Practice" yang ditulis Schulte dan Perera (Wikipedia, 2011a). Buku itu menjelaskan peran vital pengukuran dan pemanfaatan biologic marker (biomarker) di tingkat molekul dan gen untuk memahami mekanisme yang melatari terjadinya penyakit pada populasi, dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk mengendalikan penyakit.

Epidemiologi molekuler bersifat multidisipliner, mengintegrasikan biologi molekuler, kedokteran klinis, biostatistika, dan epidemiologi. Epidemiologi molekuler memadukan metode epidemiologi konvensional dengan kemajuan-kemajuan di bidang riset biologi seluler, molekuler, dan riset genetika, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang riwayat alamiah penyakit, mekanisme yang melatari terjadinya suatu penyakit pada populasi, mengembangkan teori-teori baru tentang kausasi penyakit, dengan memberikan perhatian kepada interaksi yang kompleks dalam proses terjadinya penyakit (Foxman dan Riley, 2001; Kufe et al., 2003; Dorman, 2011). Jika metode epidemiologi tradisional (klasik) sering menggunakan pendekatan “Black box”, yaitu mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit tanpa perlu mengetahui secara mendalam patogensis penyakit tersebut, maka metode epidemiologi molekuler meningkatkan pemahaman tentang patogenesis penyakit dengan cara mengidentifikasi mekanisme, molekul, dan gen, yang terjadi di dalam “Black box”, yang mempengaruhi terjadinya penyakit (Spitz dan Bondy, 2010; Dorman, 2011) (Gambar 12).


 Riset epidemiologi molekuler berguna untuk meningkatkan bukti kausasi dengan cara memberikan penjelasan biologis yang masuk di akal (biological plausbility) dan koherensi hasil riset lintas disiplin tentang hubungan paparan-penyakit, sesuai dengan kriteria kausasi Hill (Spitz dan Bondy, 2010).

Salah satu teknologi kunci dari biologi molekuler yang dimanfaatkan dalam riset epidemiologi adalah identifikasi dan pengukuran biomarker. Biomarkers merupakan substansi biologis, kimiawi, atau fisik, yang bisa dideteksi dan diukur pada berbagai bagian tubuh, misalnya darah dan jaringan. Biomarker dapat menunjukkan proses yang normal maupun patologis yang terjadi di dalam tubuh. Biomarker dapat berbentuk sel tertentu, molekul, gen, produk gen, enzim, atau hormon. Biomarker bisa digunakan untuk tujuan diagnostik (tropinin jantung untuk diagnosis infark otot jantung), proses penyakit (C-reactive protein/ untuk inflamasi), derajat penyakit (misalnya, brain nutriuretic peptide/ BNP untuk kegagalan jantung kongestif), prognosis penyakit (biomarker kanker), dan biomarker untuk memonitor respons klinis intervensi (misalnya, HbA1c untuk terapi antidiabetik). Informasi yang diperoleh dari biomarker dapat digunakan untuk memprediksi perkembangan penyakit, mengimplementasikan program pencegahan penyakit, dan memonitor respons klinis intervensi (Bonassi dan Au, 2002). Jadi identifikasi dan pengukuran biomarker berguna untuk membantu memecahkan masalah-masalah epidemiologis dan kedokteran, dengan cara membantu diagnosis dini, pencegahan penyakit, identifikasi sasaran terapi, memonitor respons terapi, dan sebagainya. Epidemiologi molekuler telah diterapkan pada berbagai bidang, antara lain epidemiologi kanker, epidemiologi penyakit infeksi, dan epidemiologi lingkungan (Vineis dan Perera, 2007; Dorman, 2011).

Sebagai contoh, Ikeda et al. (2011) melakukan studi kohor selama 3 tahun untuk menguji apakah biomarker ADAMTS13 plasma pada pasien hepatitis B dan C kronis bisa digunakan untuk memprediksi terjadinya karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma, HCC). Peneliti mengevaluasi ADAMTS13 plasma sebagai biomarker potensial sel bintang hepar (hepatic stellate cells) pada pasien hepatitis B dan C kronis, dengan dan tanpa HCC. Singkat kata, Ikeda et al. (2011) menyimpulkan, aktivitas ADAMTS13 plasma yang tinggi merupakan risiko untuk terjadinya HCC pada pasien dengan penyakit hati kronis. Implikasi klinis studi tersebut, ADAMTS13 plasma sebagai biomarker potensial untuk sel bintang hepar berguna untuk memprediksi hepatokarsinogenesis.


Epidemiologi Genetik. Berhubungan erat dengan epidemiologi molekuler adalah epidemiologi genetik. Morton (1982) dikutip Wikipedia (2011c) mendefinisikan epidemiologi genetik "a science which deals with the etiology, distribution, and control of disease in groups of relatives and with inherited causes of disease in populations". Epidemiologi genetik merupakan cabang epidemiologi yang mempelajari peran faktor-faktor genetik dan interaksinya dengan faktor lingkungan dalam mempengaruhi terjadinya penyakit dan pewarisan (inheritance) penyakit pada kelompok-kelompok dan populasi.

Mengapa mempelajari faktor genetik terhadap terjadinya penyakit? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diketahui bahwa gen adalah segmen dari DNA (suatu asam nukleat, yaitu deoxyribonucleic acid) yang membawa informasi genetik yang memberikan instruksi untuk perkembangan dan fungsi semua organisme hidup. Variasi dalam sekuensi (urutan) DNA pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya penyakit pada manusia dan respons manusia terhadap patogen, bahan kimia, obat, vaksin, dan agen lainnya (Wikipedia, 2011c).

Hampir semua penyakit pada manusia memiliki komponen genetik. Pola komponen genetik bervariasi, mulai dari hubungan kausal sederhana di mana sebuah mutasi diperlukan (necessary) dan cukup (sufficient) untuk menimbulkan penyakit (disebut Mendelian traits) hingga karakteristik genetik kompleks di mana aneka faktor, baik genetik maupun lingkungan, memberikan kontribusi terhadap kerentanan individu/ keluarga/ populasi untuk mengalami penyakit (Yale University, 2011; Wikipedia, 2011c).

Sebagai contoh, Gambar 13 menyajikan fase epidemiologi molekuler dalam penelitian interaksi gen-lingkungan yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker. Manusia umumnya terpapar oleh faktor lingkungan berupa campuran kimia kompleks (misalnya, asap rokok, polusi udara, polusi di tempat kerja, bahan makanan, pestisida). Campuran kimia kompleks tersebut bisa mengandung bahan karsinogenik (berpotensi menyebabkan kanker), sehingga disebut karsinogen, masuk ke dalam tubuh dan mengalami metabolisme (Perera dan Weinstein, 2000; Kufe et al., 2003).

Jika campuran kimia kompleks karsinogenik tersebut mengikat bagian DNA (disebut DNA adduct), maka ikatan itu disebut aduksi DNA-karsinogen, merupakan awal dari sel kanker. Warisan kerentanan pada penjamu (misalnya, CYP1A1, CYP2E1, GSTM1, mikronutrien A/C/E, etnisitas, ras, gender, umur) dapat memodulasi faktor lingkungan, terjadi interaksi antara penjamu dan faktor lingkungan, yang mempengaruhi metabolisme karsinogen. Di samping itu warisan kerentanan dapat mereparasi kerusakan DNA dengan mengurangi atau menyingkirkan seluruh beban kerusakan. Sebaliknya warisan kerentanan bisa mempengaruhi terjadinya instabilitas genomik dan menyebabkan efek preklinik berupa perubahan genetik (mutasi gen), aberasi kromosom, aktivasi onkogen, dan inaktivasi gen supresor tumor (Perera dan Weinstein, 2000; Kufe et al., 2003).

Dosis internal dan dosis molekuler paparan faktor lingkungan (yakni, campuran kimia kompleks karsinogenik) mempengaruhi terjadinya aduksi DNA-karsinogen dan efek preklinik (mutasi gen, dan sebagainya). Dewasa ini dosimetri internal paling banyak dilakukan untuk mengukur paparan karsinogen dan bahan toksik lainnya, terutama di tempat kerja. Biomarker dosis internal memiliki presisi, reliabilitas, dan relevansi yang tinggi dengan risiko individu, sehingga banyak digunakan bersama dengan pendekatan tradisional epidemiologi dalam mengukur paparan, misalnya pengukuran konsentrasi agen di ruangan tempat kerja, pengukuran dengan kuesioner tentang riwayat merokok, konsumsi makanan, dan paparan lingkungan lainnya. Immmunoassay yang sangat sensitif yang tersedia dewasa ini dapat mengukur paparan kimia karsinogenik atau metabolitnya dalam konsentrasi sangat rendah pada berbagai sel, jaringan, atau cairan tubuh. Contoh, kadar kotinin dalam serum atau urine sebagai hasil dari paparan asap rokok, aflatokin B1 (AFB1) dalam urine yang mencerminkan paparan faktor makanan (Perera dan Weinstein, 2000).

Kelebihan biomarker dosis internal, biomarker ini mencerminkan perbedaan absorpsi, metabolisme, bioakumulasi, dan ekskresi paparan agen antar individu. Kekurangannya, rentang waktu-paroh (half-lives) biomarker dosis internal individu sangat lebar, mulai dari beberapa jam hingga beberapa dekade, sehingga interpretasi hasil dan penerapannya harus menyesuaikan waktu paroh tersebut. Kekurangan lainnya, dosimetri internal tidak menunjukkan seberapa besar suatu paparan agen telah bereaksi dengan sel atau gen sasaran (Perera dan Weinstein, 2000).

Dosis paparan di tingkat molekul yang telah bereaksi dengan makromolekul seluler penting (yaitu, aduksi DNA-karsinogen) disebut “biologically effective dose”. Dewasa ini tengah dikembangkan prosedur analisis (assay) untuk mengukur aduksi DNA-karsinogen sebagai biomarker molekuler. Pengukuran ini penting karena ikatan aduksi DNA-karsinogen inilah yang menginduksi mutasi pada gen-gen penting. Kelebihannya, hasil pengukuran aduksi DNA-karsinogen tidak hanya mencerminkan perbedaan individual absorpsi dan distribusi tetapi juga perbedaan metabolisme (aktivasi versus detoksifikasi) karsinogen, serta besarnya reparasi aduksi DNA-karsinogen yang telah berlangsung pasca paparan karsinogen (Perera dan Weinstein, 2000).

Kekurangannya, DNA dari jaringan sasaran tidak mudah diakses, sehingga sebagai gantinya digunakan sel-sel atau jaringan perantara (misalnya, sel darah tepi, sel bukalis, atau plasenta). Kekurangan lainnya, level aduksi DNA-karsinogen lebih mencerminkan reparasi DNA dan pembaruan jaringan yang berlangsung beberapa bulan terakhir daripada paparan yang terjadi lebih lama (Perera dan Weinstein, 2000).

Dewasa ini telah diidentifikasi banyak biomarker molekuler yang dapat digunakan untuk mengukur paparan dan menilai dini efek biologi dan molekuler yang merugikan suatu kelompok atau populasi. Tetapi manfaat sebagian besar biomarker molekuler belum divalidasi melalui riset, sehingga belum bisa digunakan secara rutin dalam skrining, diagnosis, dan prediksi kuantitatif risiko mengalami penyakit (Perera dan Weinstein, 2000).

Sebagai contoh, Lin et al. (2011) melakukan studi kohor berbasis populasi untuk menguji apakah variasi di dalam sejumlah gen tertentu dalam mekanisme biologis terjadinya progresi kanker prostat bisa digunakan untuk membedakan pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami kematian karena kanker prostat. Peneliti melakukan penjenisan gen (genotyping) terhadap 937 single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada 156 gen pada kohor berbasis populasi yang terdiri atas 1,309 pasien kanker prostat. Lin et al. (2011) menyimpulkan, varian genetik yang terdapat pada gen-gen LEPR, CRY1, RNASEL, IL4, dan ARVCF merupakan biomarker yang memiliki hubungan yang secara statistik signifikan dengan kematian spesifik kanker prostat. Pasien dengan 4 hingga 5 genotipe berisiko memiliki risiko untuk mengalami kematian spesifik kanker prostat 1.5 kali lebih besar daripada pasien dengan 0 hingga 2 genotipe berisiko (RR=1.5; CI95% 1.2 hingga 1.9). Risiko tersebut meningkat dengan jumlah genotipe berisiko (Ptrend = 0.001).

Faktor genetik dan usia jelas penting dalam mempengaruhi kerentanan individu terhadap karsinogen. Dalam beberapa bentuk kanker yang jarang, faktor keturunan (warisan) bahkan memainkan peran yang sangat menentukan. Tetapi terjadinya kanker pada manusia bukan melulu akibat dari proses yang tidak bisa dihindari. Peran faktor eksternal (lingkungan) memberikan peluang yang terbesar untuk upaya pencegahan primer. Riset epidemiologi molekuler/ genetik berguna untuk menemukan instrumen yang kuat untuk melakukan pencegahan primer, yaitu suatu sistem peringatan dini (early warning system) yang bisa mengidentifikasi karsinogen lingkungan, yang dapat menunjukkan risiko sebelum terjadi proses malignansi (Perera dan Weinstein, 2000).

Epidemiologi Kanker. Epidemiologi kanker merupakan cabang epidemiologi yang bertujuan mempelajari distribusi dan kausa kanker, mengembangkan terapi kanker yang lebih efektif untuk mengendalikan masalah kanker pada populasi.

Hasil riset epidemiologi menunjukkan, lebih dari sepertiga kematian karena kanker di seluruh dunia disebabkan oleh faktor risiko yang bisa diubah (modifiable risk factors), meliputi: (1) Merokok tembakau; (2) Minuman beralkohol; (3) Diet rendah buah dan sayur; (4) Kurang aktivitas fisik; (5) Obesitas; (6) Transmisi seksual HPV. Merokok tembakau berhubungan kuat dengan kanker paru, mulut, dan nasofaring. Minuman beralkohol berhubungan dengan kanker mulut, esofagus, payudara, dan kanker lainnya. Diet rendah buah dan sayur meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Kurang aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko kanker kolon, payudara, dan beberapa kanker lainnya. Obesitas berhubungan dengan kanker kolon, payudara, endometrium, adenokarsinoma esofagus, dan kanker lainnya. Transmisi seksual human papillomavirus (HPV) menyebabkan kanker serviks dan kanker anus (Wikipedia, 2011d; Ryan et al., 2011).

Di samping itu terdapat sejumlah paparan lingkungan lainnya dan gaya hidup yang merupakan faktor risiko kanker. Penggunaan hormon replacement therapy menyebabkan kanker payudara. Paparan asbestos dan merokok tembakau di tempat kerja meningkatkan risiko kanker paru dan mesotelioma. Paparan benzena di tempat kerja meningkatkan risiko leukemia (Wikipedia, 2011d).

REFERENSI

AARC (2011). What is molecular epidemiology? aacr.org. Diakses Agustus 2011.
Americal Cancer Society (2009). Stay healthy. http://www.cancer.org/Healthy/ InformationforHealthCareProfessionals/cancer_statistic_2009_slides_rev.ppt. Diakses Agustus 2011.
Benjamins MR, Hummer RA, Eberstein IW, et al 2004. Self-reported health and adult mortality risk: an analysis of cause-specific mortality. Soc Sci Med; 59:1297–306.
Bodelon C, Doherty JA, Chen C, Rossing MA, Weiss NS (2009). Use of nonsteroidal antiinflammatory drugs and risk of endometrial cancer. Am J Epidemiol;170:1512–1517.
Bonassi S, Au WW (2002). Biomarkers in molecular epidemiology studies for health risk prediction. Mutat Res. 511(1):73-86.
Buck C, Llopis A, Nájera E, Terris M (1998). The Challenge of Epidemiology: Issues and Selected Readings. Scientific Publication No. 505. Pan American Health Organization. Washington, DC

Burstrom B, Fredlund P (2001). Self rated health: Is it a good predictor of subsequent mortality among adults in lower as well in higher social classes? J Epidemiol Community Health; 55:836–40.
Danesh J, Whincup P, Walker M, Lennon L, Thomson A, Appleby P, Gallimore JR, Pepys MB (2000). Low grade inflammation and coronary heart disease: prospective study and updated meta-analyses. Br. Med. J. 321: 199–204.
Dictionary.com (2011). Study. http://dictionary.reference.com/browse/study. Diakses Agustus 2011.
Doll R, Peto R (1978). Cigarette smoking and bronchialcarcinoma: dose and time relationships among regular smokersand lifelong non-smokers. J Epidemiol Community Health. 32: 303-313
Dorman J (2011). Introduction to molecular epidemiology. University of Pittsburgh School of Nursing. www.pitt.edu/~super4/33011-34001/33891.ppt
Everson SA, Goldberg DE, Kaplan GA (1996). Hopelessness and risk of mortality and incidence of myocardial infarction and cancer. Psychosom Med; 58:113–21.
Ford ES, Smith SJ, Stroup DF, Steinberg KK, Mueller PW, Thacker SB (2002). Homocyst(e)ine and cardiovascular disease: a systematic review of the evidence with special emphasis on case-control studies and nested case-control studies. Int. J. Epidemiol. 31: 59–70.
Foxman B, Riley L (2001). Molecular epidemiology: Focus on infection. Am J Epidemiol 2001;153: 1135–41.
Goldie SJ, Gaffikin L, Goldhaber-Fiebert JD, Gordillo-Tobar A, Levin C, Mahe C, WrightTC (2005). Cost-effectiveness of cervical-cancer screening in five developing countries. N Engl J Med 2005;353:2158-68.
Hughes T (2011). Neural tube defects. Word Constructions. http://www.wordconstructions. com/articles/health/ntds.html. Diakses Agustus 2011.
Idler EL, Benyamini Y (1997). Self-rated health and mortality: a review of twentyseven community studies. J Epidemiol Community Health; 38:21–37.
Ikeda H, Tateishi R, Enooku K, Yoshida H, Nakagawa H, Masuzaki R, Kondo Y, et al.(2011). Prediction of hepatocellular carcinoma development by plasma ADAMTS13 in chronic hepatitis B and C. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention. Published OnlineFirst August 29, 2011; doi: 10.1158/1055-9965.EPI-11-046
Kawai V, Soto G, Gilman RH, Bautista CT, Caviedes L, Huarato L, Ticona E, Ortiz J, Tovar M, Chavez V, Rodriguez R, Escombe R, Evans CA (2006). Tuberculosis mortality, drug resistance, and Infectiousness in patients with and without HIV infection in Peru. Am. J. Trop. Med. Hyg., 75(6): 1027–1033
Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, et al. (2003). Implications for molecular epidemiology, risk assessment, and cancer prevention. Hamilton (ON): BC Decker.
Larsson D, Hemmingsson T, Allebeck P, et al. Self-rated health and mortality among young men: what is the relation and how may it be explained? Scand J Public Health; 30:259–66.
Last JM (2001). A dictionary of epidemiology. Edisi ke4. New York: Oxford University Press.
Lin DW, FitzGerald LM, Fu R, Kwon EM, Zheng SL, Kolb S, Wiklund F et al. (2011). Genetic variants in the LEPR, CRY1,RNASEL, IL4, and ARVCF Genes are prognostic markers of prostate cancer-specific mortality. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 20(9): 1–9
Macintyre S (1994). Understanding the social patterning of health: the role of the social sciences. Journal of Public Health Medicine.16 (1): 53-59
Mossey JM, Shapiro E (1982). Self-rated health: a predictor of mortality among the elderly. Am J Public Health; 72:800–8.
Mathema B, Kurepina NE, Bifani PJ, Kreiswirthi BN (2006). Molecular epidemiology of tuberculosis: Current insights. Clinical Microbiology Reviews. 19(4): 658–685

Mausner JS, Kramer S (1985). Mausner & Bahn epidemiology: An introductory text. Philadelphia: WB Saunders Company.
Morrison AC, Bare LA, Chambless LE, Ellis SG, Malloy M, Kane JP, Pankow JS, Devlin JJ, Willerson JT, Boerwinkle E (2007). Prediction of coronary heart disease risk using a genetic risk score: The Atherosclerosis Risk in Communities Study. Am J Epidemiol; 166:28–35
Pearce N (1999). Epidemiology as a population science. Int. J. Epidemiol, 28: 1015-18
Ryan AM, Duong M, Healy L, Ryan SA, Parekh N, Reynolds JV, Power DG (2011). Obesity, metabolic syndrome and esophageal adenocarcinoma: Epidemiology, etiology and new targets. Cancer Epidemiology. 35 (4): 309-319
Sherris J,Wittet S,Kleine A, Sellors J, Luciani S, Sankaranarayanan R, Barone MA (2009). Evidence-based, alternative cervical cancer screening approaches in low-resource settings. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health. 35 (3): 147-152
Shpilberg O, Dorman JS, Ferrell RE, Trucco M, Shahar A, Kuller LH (1997). The next stage: Molecular epidemiology. Journal of Clinical Epidemiology, 50(6): 633-638
Spitz MR, Bondy ML (2010). The evolving discipline of molecular epidemiology of cancer Carcinogenesis. 31 (1): 127–134
Strevens M (2011). Scientific explanation. http://www.strevens.org/research/simplexuality/ Expln.pdf. Diakses Agustus 2011.
Susser M, Ezra Susser (1996). Choosing a future for epidemiology: II. From black box to Chinese boxes and eco-epidemiology. Am J Public Health, 86: 674-677.
Tuskegee University (2011). Epidemiologi. Chapter 2: The epidemiologic systems approach Tusekgee University College of Veterinary Medicine Nursing & Allied Health. http:// www. onemedicine.tuskegee.edu/Epidemiology/sys_approach.htm. Diakses Agustus 2011.
University of Pittsburg (1998). What is molecular epidemiology? Molecular Epidemiology Homepage. University of Pittsburgh. 28 July 1998. Diakses Agustus 2011.
Vineis P, Perera F (2007). Molecular epidemiology and biomarkers in etiologic cancer research: The new in light of the old (Cancer Epidemiol BiomarkersPrev. 16(10):1954–65
Weitoft GR, Rosen M (2005). Is perceived nervousness and anxiety a predictor of premature mortality and severe morbidity? A longitudinal follow up of the Swedish survey of living conditions. J Epidemiol Community Health. 59794–798.798.
Whitrow MJ, Moore VM, Rumbold AR, Davies MJ (2009). Effect of supplemental folic acid in pregnancy on childhood asthma: A prospective birth cohort study. Am J Epidemiol;170:1486–1493
WHO (2002). Cervical cancer screening in developing countries: Report of WHO consultation. Geneva, Switzerland: World Health Organization
Wikipedia (2011a). Molecular epidemiology. en.wikipedia.org/wiki/Molecular_ epidemiology. Diakses Agustus 2011.
Wikipedia (2011b). DNA adduct. http://en.wikipedia.org/wiki/DNA_adduct. Diakses September 2011.
Wikipedia (2011d). Epidemiology of cancer. http://en.wikipedia.org/wiki/Epidemiology_of_ cancer. Diakses 2 September 2011.
Yale University (2011). Medical genomics. Yale University Center for Genomics & Proteomics. http://cgp.yale.edu/medical/index.html. Diakses September 2011.


tulisan ini (Pengantar Epidemiologi) merupakan tulisan dari :
 Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

0 komentar:

Posting Komentar